Sabtu 20 Oct 2018 02:16 WIB

Warga Donggala Masih Truma untuk Kembali ke Rumah

Setelah dua pekan gempa, warga Tanjung Karang masih sesekali mengunjungi rumah.

Rep: Lintar Satria/ Red: Andri Saubani
Bangunan masjid Al Amin di pesisir pantai Malambora, Donggala, Selasa (9/10).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Bangunan masjid Al Amin di pesisir pantai Malambora, Donggala, Selasa (9/10).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Setelah 21 hari pascagempa dan tsunami, warga Tanjung Karang, Donggala masih dicekam trauma. Sarwan, 38 tahun ketika gempa mengguncang kampungnya. Sarwan bersama 65 keluarga lainnya masih mengungsi di depan SDN Muhammadiyah 4 dekat gerbang masuk Tanjung Karang sekitar 200 meter dari kampungnya.

Kenangan besarnya gempa yang mengguncang Tanjung Karang menjadi trauma yang terus membayangi Sarwan dan keluarganya. Anaknya, Afika yang baru berusia 6 tahun masih takut untuk kembali ke rumah.

"Kami masih ketakutan jadi kami mengungsi di sini," kata Sarwan, Jumat (19/10).

Sarwan mengatakan, pemukiman Tanjung Karang persis di depan laut. Masih ada ketakutan gempa akan kembali dan memicu tsunami. Karena itulah warga kampung masih mengungsi di dataran yang lebih tinggi.

Masih jelas dalam ingatannya saat gempa mengguncang Donggala. Saat itu, Sarwan dan istrinya membeli air galon. Tiba-tiba sepeda motornya terguncang, semakin lama semakin sulit dikendalikan. Sarwan pun membanting motornya dan langsung berlari ke arah rumahnya.

"Saya boncengan sama istri, galon di depan, getaran pertama belum, pas getaran kedua motor tidak bisa dikontrol karena loncat-loncat," kenang Sarwan.

Saat itu yang Sarwan pikirkan hanyalah keselamatan anaknya. Ia sangat bersyukur putrinya diselamatkan salah satu saudara istrinya. Sejak gempa Sarwan dan keluarganya tidur di dalam tenda.

Setelah dua pekan gempa berlalu warga Tanjung Karang masih sesekali mengunjungi rumah mereka pada siang hari. Sekedar untuk membersihkan rumah atau istirahat karena udara dalam tenda sangat panas. Tapi seluruh kampung tidur di pengungsian. Hanya ada satu rumah yang hancur di kampung tersebut. Itu pun rumah yang belum sepenuhnya selesai.

Sarwan mengatakan, air laut memang sempat masuk ke dalam pemukiman. Tapi gelombangnya tidak tinggi, hanya sekitar 1 meter. Tapi, trauma akan gempa yang sangat berbekas di warga kampung yang membuat mereka masih bertahan di pengungsian.

"Ketakutan kami masih ada, untuk mau ke sana takut," kata Sarwan.

Sarwan mengatakan, warga kampung Tanjung Karang memang mendapat informasi dari pemerintah tidak akan ada lagi gempa besar. Tapi ingatan saat mereka berusaha melarikan diri dari bencana tersebut masih kuat dalam ingatan mereka.

"Kalau informasi ada tapi warga di sini masih truma sekali karena yaitu dari bawah sampai di atas sampai jatuh-jatuh kami lari akibat getaran dari gempa itu," kata Sarwan.

Tidak ada korban meninggal di Tanjung Karang. Hanya ada beberapa korban luka. Tapi, di kelurahan Lambuan Bajo yang berdekatan dengan Tanjung Karang ada beberapa korban meninggal.

Sarwan mengatakan, ia sendiri tidak melihat ketika air laut masuk pemukiman. Tapi beberapa orang warga lainnya melihat ketika peristiwa itu terjadi. Ada beberapa warga yang sempat terdorong air tapi akhirnya bisa melarikan diri.

"Jadi perisitiwa itu sangat fatal, masih berasa sekali itu anak saya saja sampai saat ini masih kalau diajak ke bawah, nggak lama di bawah 'Ayo ayah ke tenda' aja katanya takut gempa," kata Sarwan.

Sarwan mengatakan, jika seluruh warga sepakat untuk kembali ke rumah masing-masing mereka akan meninggalkan pengungsian dan pulang.  Tapi, jika belum ada kesepakatan bersama tidak ada yang berani pulang.

Begitu pula Rizal Sardi, 40 tahun, yang masih bertahan di pengungsian. Saat gempa terjadi ia berada di Kota Palu untuk mengantar salah satu turis yang menginap di hotel tempatnya bekerja. Ketika gempa terjadi Rizal di dalam mobil ia melihat jalan yang ada di depannya retak.

Turis Jerman yang ia temani pun mengizinkannya pulang ke Tanjung Karang. Tidak mudah bagi Rizal untuk bisa pulang, semua jalan menuju Tanjung Karang tertutup bangunan yang runtuh atau pohon tumbang.

Akhirnya, ia berjalan kaki selama empat jam, Rizal mulai berusaha pulang pada pukul 19.00 WIT tapi baru tiba di Tanjung Karang pukul 05.00 WIT. Ketika ia berjalan di Donggala Rizal banyak jenazah bergelimpangan.

"Di mobil saya waktu menangis saja memikirkan anak saya," kata ayah dua anak itu.

Akhirnya, Rizal sampai di Tanjung Karang dan bertemu anak-anaknya yang berusia 12 dan 10 tahun. Anak-anak Rizal berhasil diselamatkan istrinya. Rizal dan Sarwan masih trauma dan mengingat jelas detik-detik gempa terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement