Jumat 19 Oct 2018 11:22 WIB

Suap Meikarta Bisa Jadi Korupsi Korporasi, Ini Kata KPK

KPK fokus terhadap pertanggungjawabab perorangan dalam kasus ini.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
 Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, menuturkan, pihaknya kini fokus terhadap pertanggungjawaban perorangan terkait kasus dugaan suap pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Jika nanti ditemukan bukti yang mengarah pada kejahatan korporasi, barulah KPK akan mencermatinya lebih lanjut.

"KPK tentu saja fokus terlebih dahulu terhadap pertanggungjawaban perorangan. Kalau nanti ditemukan bukti-bukti mengarah pada kejahatan korporasi, tentu kami akan mencermati," ujar Febri di Jakarta, Jumat (19/10).

Terkait dengan pertanggungjawaban korporasi, kata Febri, undang-undang sebenarnya mengatur pertanggungjawaban tersebut secara jelas, termasuk bagaimana syarat-syaratnya. Ia juga menerangkan, KPK sebelumnya sudah beberapa kali menangani perkara korporasi baik korupsi ataupun pencucian uang.

"Ini juga peringatan bagi korporasi-korporasi lain jangan sampai menyerahkan uang pada penyelenggara negara," katanya.

Pada Senin (15/10) lalu, KPK menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022, Neneng Hasanah Yasin (NHY) dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group, Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta. Selain Neneng dan Billy, KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya.

Mereka, yakni dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta Pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ). Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat ‎MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati (DT) serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi (NR).

Neneng Hasanah dan anak buahnya diduga menerima hadiah atau janji dari pengusaha terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta . Diduga pemberian terkait izin proyek seluas total 774 ha itu dibagi ke dalam 3 tahap, yaitu tahap pertama 84,6 ha, tahap kedua 252,6 ha dan tahap ketiga 101,5 ha.

Pemberian dalam perkara ini diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp 13 miliar, melalui sejumlah Dinas, yaitu: Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.

KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada bulan April, Mei dan Juni 2018. Keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks.

Megaproyek Meikarta memlliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga tempat pendidikan. Karena itu, dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampat, hingga Iahan makam.

Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal‎ 5 ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Neneng mendapat pasal tambahan yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement