REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebanyak 45 bangunan yang berada di sisi jalur kereta antara Stasiun Pasar Minggu dan Pasar Minggu Baru, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan digusur, Rabu (17/10). Deputy II Executive Vice President PT KAI Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta, Ari Soepriadi menyebut penggusuran yang dilakukan sebagai upaya penertiban dan keamanan perjalanan kereta api.
"Kalau bangunan-bangunan mendekati rel kan struktur tubuh ban jadi lembek karena ada bangunan di kanan kiri rel. Tapi yang jelas ini untuk keselamatan perjalanan kereta api. Pandangan masinis harus jelas," kata Ari ketika ditemui Republika di lokasi penggusuran, Rabu (17/10).
Menurut Ari, ada sekitar 45 bangunan yang ditertibkan antara Stasiun Pasar Minggu hingga Stasiun Pasar Minggu Baru. Bangunan liar tersebut terdiri dari 22 hunian, 21 lapak dan hunian, satu bengkel, serta satu balai RT/RW.
Menurut keterangan Ari, PT KAI Daop 1 telah melakukan sosialisasi kepada 157 pemilik bangunan. Hal ini dilanjutkan dengan memberikan surat pemberitahuan pertama untuk mengosongkan bangunan tertanggal 1 Oktober 2018.
Surat pemberitahuan kedua dibuat pada 8 Oktober 2018, sementara yang ketiga tertanggal 12 Oktober 2018. Pihaknya juga melakukan koordinasi dengan TNI, Polri, Kecamatan, dan Kelurahan.
“Hal ini penting untuk dilaksanakan, karena berkaitan dengan keselamatan perjalanan kereta api di mana kanan-kiri sepanjang jalur kereta api harus steril. Jarak pandang masinis tidak boleh terganggu, untuk melihat jalur, sinyal, dan papan rambu lainnya,” jelas Ari.
Kegiatan penggusuran itu berdampak di setidaknya dua rukun warga (RW), yaitu RW 02 dan RW 05. Ketua RT 003/02, Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Mugiyadi alias Nunung mengatakan ada enam keluarga yang terdampak di wilayahnya.
Menurut Nunung, mereka telah tinggal selama lebih dari 20 tahun. Mereka meminta izin kepada personel PT KAI di stasiun terdekat untuk menggunakan lahan yang ada. Menurut Nunung dan beberapa warga yang ditemui Republika, ada kesepakatan tidak tertulis antara warga dan petugas PT KAI untuk menggunakan lahan tersebut.
"Kalau izin mereka dulu ke PT Kereta Api. Hanya memakai, ke stasiun terdekat. Jadi selagi belum digunakan, silakan, tapi kalau nanti digunakan ya harus pindah," ujar dia.
Dengan kata lain, para warga memahami bahwa mereka menempati lahan yang tidak seharusnya. Mereka juga siap diminta pindah kapan saja. Sayangnya, dalam proses penertiban terjadi miskomunikasi.
PT KAI menginformasikan bahwa mereka akan memasang pagar pembatas di sepanjang jalur kereta api. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan keamanan. Nunung menceritakan, memang kerap terjadi kecelakaan di area tersebut.
Kasus terakhir terjadi beberapa bulan sebelumnya. Seorang warga RW 01 tewas tertabrak kereta api. Ia menduga, banyaknya korban mendorong PT KAI untuk mempercepat proses pemagaran.
PT KAI kemudian menyisir warga di sekitar rel kereta dan mengirim surat peringatan pertama. Dalam surat tersebut, PT KAI meminta warga membongkar sendiri lahannya. Namun, tidak disertakan keterangan berapa lebar wilayah yang harus disterilkan.
Dalam surat tersebut, PT KAI hanya menyebut bahwa warga yang mendiami lahan milik PT KAI untuk membongkar bangunannya. Warga berasumsi lahan itulah yang ditandai dengan patok. Padahal, patok hanya dipasang sekitar enam meter dari as rel sebagai penanda 'batas aman'.
Menurut Nunung, surat peringatan pertama itu tidak ditembuskan kepada dirinya. Ia justru tahu tentang rencana penggusuran dari para warga. Ia baru diberitahu oleh PT KAI para surat peringatan ketiga, beberapa hari sebelum penggusuran dilakukan.
Nunung menambahkan, usai penggusuran tersebut, para warga yang keluarganya masih utuh langsung mencari kontrakan. Namun, ada dua perempuan berstatus janda yang juga menjadi korban penggusuran. Salah satunya adalah Lala.
"Tadi katanya cuma sedikit. Tahu-tahu mendadak langsung semua," ujar Lala yang ditemui saat sedang menangis meratapi rumahnya yang digusur.
Lala tak tahu hendak ke mana. Beberapa jam sebelum Republika datang, tim dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) merobohkan rumahnya. Padahal, ia menyambung hidup untuk memenuhi kebutuhan kedua anaknya dengan membuka warung di depan rumahnya.
“Saya enggak tahu lagi apa bisa buka usaha. Kalau di Pasar Minggu, pasti mahal,” tutur dia.