Rabu 05 Jul 2017 12:11 WIB

Djarot Ingin Jakarta Lebih Tertib dan Manusiawi

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Bilal Ramadhan
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat (kanan) bersalaman dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat halal bihalal di Balai Kota, Jakarta, Senin (3/7).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat (kanan) bersalaman dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat halal bihalal di Balai Kota, Jakarta, Senin (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat tidak ambil pusing terhadap pernyataan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta potensi penggusuran paksa akan meningkat usai Idul Fitri 1438 H. Djarot ingin Jakarta lebih tertib dan manusiawi.

"Anda mau menyampaikan bahwa ada yang mengatakan bahwa menggusur yang di kolong tol, di kolong jembatan enggak manusiawi. Dimana tidak manusiawinya? Apa lebih manusiawi kita membiarkan mereka tinggal di bantaran-bantaran sungai, di kolong tol kolong jembatan, itu justru tidak lebih manusiawi ya," ujar Djarot di Balai Kota, Rabu (5/7).

Djarot mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI Jakarta) menghormati LBH, Komnas HAM, dan sebagainya untuk mengambil data. Sebab, data-data tersebut merupakan bagian dari evaluasi untuk melakukan langkah-langkah penertiban.

"Ada yang mengatakan bahwa itu penggusuran tapi saya mengatakan bahwa itu penertiban. Ingat bahwa Jakarta punya program lima tertib saya sampaikan juga bahwa semua camat, lurah, dan seluruh perangkat tetap konsisten untuk mengawal menjaga dan menjalankan lima tertib itu. Salah satunya tertib hunian," katanya.

Selain itu, Djarot menjelaskan perbedaan antara penggusuran atau relokasi. Jika menempati bantaran-bantaran sungai, kolong-kolong tol, kata Djarot, itu akan digusur karena lokasi tersebut bukan lokasi untuk bertempat tinggal.

"Tapi kalau mereka sudah lama di situ kemudian dia sudah tinggal, beranak di situ lama, dan waktu itu jadi pembiaran kemudian ada program itu kita relokasi. Tapi di kolong tol kami gusur ya. Kolong tol kami gusur, di kolong-kolong jembatan kami gusur," ujarnya.

Usai Idul Fitri 1438 Hijriah, potensi penggusuran paksa akan meningkat. Hal tersebut ditengarai adanya 507 program senilai Rp 22,7 miliar yang diduga mengimplementasikan penggusuran paksa di berbagai wilayah administratif DKI Jakarta.

Menurut data dari LBH Jakarta, 507 program tersebut tersebar di enam wilayah. Sebanyak 91 program memakan dana Rp 3,4 miliar untuk Jakarta Pusat. Kemudian, Jakarta Timur, 118 program dengan biaya Rp  5, 5 miliar. Jakarta Selatan dengan 124 program dengan dana Rp 3,9 miliar, Jakarta Barat dengan 94 program sebesar Rp 6,2 miliar, Jakarta Utara dengan 69 program sebesar Rp 3,05 miliar dan Kepulauan Seribu dengan 11 program sebesar Rp 387 juta.

Anggaran di atas belum termasuk anggaran operasional dan pengadaan barang dan jasa dari satuan pelaksana penggusuran paksa, yaitu Satpol PP, atau hibah untuk pihak-pihak lain yang sering dilibatkan dalam penggusuran paksa seperti aparat Polri dan TNI.

“Besarnya alokasi anggaran pemerintah untuk melaksanakan penggusuran menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah provinsi memiliki alokasi anggaran yang cukup besar untuk menjelajahi solusi alternatif selain penggusuran paksa, misalnya dengan membangun pasar untuk menampung pedagang kaki lima ataupun merenovasi berbagai kampung di Jakarta yang kumuh,” ujar Alldo Fellix Januardy, pengacara publik LBH Jakarta, yang melakukan penelusuran APBD 2017 tersebut dalam siaran persnya, Senin (3/7).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement