REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai biaya yang sudah dibayarkan oleh pembeli produk properti Meikarta harus ditanggung oleh perusahaan. Penanggungan biaya ini harus dilakukan jika perusahaan diketahui tidak memperoleh izin terkait penggarapan proyek properti di Kabupaten Bekasi itu.
"Uang masyarakat tetap ditanggung perusahaan jika perusahaan tidak mendapatkan izin. Dan sebagai konsumen dilindungi," jelas dia kepada Republika.co.id, Rabu (17/10).
Fickar menambahkan, pembangunan proyek Meikarta tetap harus berjalan selama sudah memenuhi proses perizinan. Tapi, kata dia, pembangunan proyek yang dinyatakan belum berizin harus dihentikan, sampai izinnya terbit.
"OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK hanya mempersoalkan dan memeriksa perbuatan menyuap penyelenggara (negara) sebagai tindak pidana korupsi," tutur dia.
Meski begitu, menurut Fickar, Meikarta sebagai korporasi sudah menjadi subjek pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan pengurusnya termasuk orang yang terkena OTT. Sebab, lanjut dia, semua perizinan adalah untuk dan atas nama kepentingan perusahaan.
"Karena tipikornya suap, tidak perlu harus menunggu perhitungan kerugian negara, karena itu, KPK bisa langsung menetapkan mengingat semua perizinan itu untuk kepentingan perusahaan. Meski hukuman terhadap korporasi hanya denda saja," tutur dia.
KPK telah menetapkan sembilan tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. Tersangka pemberi hadiah, yakni Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, dua konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta pegawai Lippo Group Henry Jasmen.
Diduga sebagai penerima, yaitu Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, bersama sejumlah pejabat Pemkab Bekasi. Para kepala dinas yang menjadi tersangka, yakni Kadis PUPR Jamaludin, Kadis Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor, Kadis Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menerangkan, pemberian diduga terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare. Proyek ini dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
Kuasa hukum PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU), yang mengerjakan Meikarta, Denny Indrayana, menyampaikan siap bekerja sama dengan KPK terkait kasus ini. Ia menyatakan, PT MSU merupakan korporasi yang menjunjung tinggi prinsip good corporate governance dan antikorupsi.
"PT MSU telah dan terus berkomitmen untuk menolak praktik-praktik korupsi, termasuk suap dalam berbisnis," kata dia.