REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam terminologi kampanye negatif yang benar, kampanye negatif disebut selama ini sering dilakukan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandi. Hal ini disampaikan anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo.
Dradjad mencontohkan, serangan yang mempertanyakan apa yang sudah dikerjakan Prabowo, dikontraskan dengan pembangunan yang dilakukan Presiden Jokowi. Itu adalah salah satu teknik kampanye negatif yang disebut 'pengontrasan'.
"Tujuannya, membuat Prabowo kelihatan tidak berprestasi dibanding Presiden Jokowi," kata Dradjad, Selasa (17/10).
Padahal secara logika, lanjut dia, Presiden Jokowi mengelola dana APBN untuk membangun. Sementara Prabowo harus menggunakan uang pribadi untuk berkarya, mulai dari mendidik ribuan muda, membina olahraga seperti Pencak Silat, membebaskan Wilfrida Soik, membantu veteran dan sebagainya. "Fakta obyektif ini ditutup melalui teknik pengontrasan," kata Dradjad.
Ada lagi teknik lain yaitu serangan langsung terhadap kandidat, baik dari sisi karakter, masa lalu, rumah tangga, penampilan fisik, pokoknya apapun yang terkait pribadi kandidat. Tidak jarang serangan itu tidak berbasis data / fakta, seperti dalam kampanye negatif terhadap temperamen Prabowo.
Kritik terhadap kebijakan dan hasil kebijakan pemerintah, kata Dradjad, juga bentuk kampanye negatif. Karena kritik itu membuat pemerintah terlihat tidak kompeten, atau gagal mengatasi suatu persoalan kebijakan.
Dradjad menyebut kritik yang dia lakukan juga bentuk kampanye negatif. "Meski sebagian ilmuwan politik tidak memasukkan kritik sebagai kampanye negatif," ungkapnya.
Di Australia pada tahun 1990an, kata Dradjad, Paul Keating dari Partai Buruh yang saat itu menjadi Perdana Menteri ditantang oleh John Hewson dari koalisi Partai Liberal dan Nasional. Hewson mengajukan Goods and Services Tax (GST) sebagai kebijakan. Keating menyerang GST setiap hari dengan menyebut GST akan membuat harga-harga melonjak.
"Ini juga bentuk kampanye negatif, dan Keating menang," jelas Dradjad.
Jadi sebagaimana terjadi di seluruh dunia, menurut Dradjad, kedua kubu di pilpres Indonesia sudah sering melakukan kampanye negatif. "Saya sendiri memilih fokus pada kebijakan karena hal ini menyangkut hajat hidup rakyat banyak," ungkapnya.