REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Menjamurnya hotel dinilai menjadi salah satu penyebab krisis air di sekitaran Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Apalagi, keberadaan hotel-hotel di DIY banyak berpusat di daerah-daerah perkotaan.
Menurut Permaisuri dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, konsumsi air di hotel sudah pasti menjadi luar biasa banyak, dan berakibat kepada berkurangnya jatah air tanah untuk masyarakat. Karena itu Hemas, menilai keberadaan air di Yogyakarta sudah harus menjadi perhatian.
"Saat ini krisis air yang ada di (DI) Yogyakarta, termasuk adanya berdirinya banyak hotel-hotel," kata Hemas usai meresmikan Museum Air di Jogja Bay, Senin (15/10).
Krisis air sempat terjadi pada musim kemarau lalu di sekitaran DIY. Selain keberadaan hotel, krisis air juga disebabkan musim kemarau yang memang rutin setiap tahun.
Terutama, dirasakan masyarakat yang tinggal di perkotaan, atau lebih tepatnya yang berada di sekitaran hotel-hotel. Kondisi itu dirasakan sebagian besar di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Setelah erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada awal tahun, Hemas merasa ada banyak persoalan-persoalan yang memang harus diperbaiki. Salah satunya krisis air yang terjadi di DIY.
Untuk itu, ia meminta persoalan-persoalan itu mendapat perhatian dari kepala-kepala daerah dari kabupaten/kota yang ada di DIY. Hemas menegaskan, kebutuhan air untuk kepentingan bisnis tetap perlu diatur.
Hingga kini, memang belum ada data pasti jumlah konsumsi air dari hotel-hotel di DIY. Namun, tingginya konsumsi air hotel-hotel DIY sebenarnya dapat diperkirakan dari data statistik hotel.
Dilihat dari data statistik Dinas Pariwisata DIY misalnya. Dari 513 hotel yang ada dari 2017, terdapat setidaknya 136.650 kali check in wisatawan mancanegara dan 1.189.815 wisatawan domestik.
Pada 2018 ini, belum tutup tahun saja data check in wisatawan mancanegara sudah mencapai 52.210 dan wisatawan domestik mencapai 478.513. Dari sana, sudah sedikit tergambar banyaknya konsumsi air hotel-hotel di DIY.
Meski begitu, Hemas menekankan, masyarakat DIY sendiri memang perlu melakukan tindakan-tindakan penghematan. Terutama, kaum perempuan sebagai pengguna air terbanyak yang mungkin membutuhkan air sejak pagi sampai malam.
Untuk jumlah, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri sebenarnya telah menyetujui perpanjangan moratorium penerbitan izin hotel di DIY. Sikap yang kurang lebih sama dikeluarkan bupati/wali kota yang ada.
Namun, tentu pembangunan masih dapat dilakukan mereka-mereka yang izinnya telah diterbitkan sebelum moratorium dikeluarkan. Namun, tanpa adanya tambahan saja konsumsi air hotel-hotel yang ada sudah sangat tinggi.
Menjawab itu, Bupati Sleman, Sri Purnomo mengatakan, untuk Kabupaten Sleman sendiri hotel-hotel yang ada sudah harus dikoordinasikan. Utamanya, karena mereka tidak boleh mengambil air sendiri.
"Otomatis setiap hotel yang hadir di Sleman sudah kita koordinasikan tidak boleh mengambil air di tanah sendiri," kata Sri.
Mereka, lanjut Sri, akan mendapatkan pasokan air melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Sleman. Pasalnya, cadangan air PDAM terbilang cukup tinggi dan tidak terlalu banyak yang dikonsumsi masyarakat.
Selain itu, ia mengungkapkan, Pemkab Sleman sudah menggandeng Pemprov DIY untuk pemanfaatan PAM regional. Menurut Sri, pengalihan itu dapat mendukung pasokan air untuk jangka panjang.
"Demi kita bisa menghadirkan air untuk kebutuhan masyarakat," ujar Sri.
Sebaran hotel-hotel di DIY sendiri untuk perkotaan banyak di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul dan pesisir ada di Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo. Sedangkan, tahun ini krisis air hampir terjadi di semua kabupaten/kota yang ada di DIY. Kabupaten Gunungkidul menjadi daerah yang mengalami krisis air dengan jumlah dan waktu paling lama.