REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut status tiga jenis burung dari daftar satwa dilindungi. Keputusan pencabutan ini pun disayangkan sejumlah kalangan.
Tiga jenis burung yang status dilindunginya dicabut itu adalah Murai Batu (Copsychus malabaricus), Jalak Suren (Sturnus contra), dan Cucak Rawa (Pyconotus). Hal itu termuat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 92 Tahun 2018. Itu merupakan perubahan dari Peraturan Menteri LHK Nomor 20 Tahun 2018.
Alasan pencabutan dari daftar satwa yang dilindungi dijelaskan dalam pasal 1 dan 2 Permen 92/2018. Yaitu, satwa yang tidak dimasukkan daftar dilindungi dengan memperhatikan kondisi banyaknya penangkaran.
Banyak pula pemeliharaan untuk kepentingan hobi dan dukungan dalam masyarakat serta lomba atau kontes. Pakar konservasi satwa liar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Ali Imron, jadi salah satu yang menyayangkan pencabutan.
Padahal, ia mengingatkan, pegiat-pegiat konservasi telah menunggu cukup lama hampir 20 tahun sejak Permen 7/1999 dengan munculnya Permen 20/2018. Apalagi, peraturan itu baru berjalan hitungan pekan. "Tiba-tiba saja direvisi dengan Permen 92/2018 yang mengeluarkan tiga spesies burung dari daftar yang dilindungi," kata Imron.
Ia merasa, pemerintah terlalu reaktif dalam mengeluarkan kebijakan baru yang mencabut status tiga jenis burun itu. Utamanya, hanya karena tekanan kelompok masyarakat yang menjalankan perdagangan burung serta penghobi burung kicau.
Penetapan kebijakan baru ini dinilai tidak dilakukan dengan dasar perimbangan yang seimbang. Sebab, untuk melakukan revisi kebijakan, seharusnya dibuat berdasarkan kajian ilmiah, bukan karena faktor lain.
"Dalam konservasi, pemerintah semestinya membuat kebijakan berdasarkan kajian ilmiah, tapi yang terjadi condong berat ke arah bisnis," ujar Imron.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya mempertimbangkan dan mengakomodasi pula kepentingan semua pihak sebagai dasar penetapan kebijakan. Karenanya, ia usul agar pemerintah mengadopsi sistem IUCN Red List.
Itu merupakan daftar merah dari International Union for the Conservation of the Natur. Serta, Concention on International Trade ini Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dalam penetapan daftar spesies yang dilindungi.
Pemerintah seharusnya memiliki sistem yang bisa mengadopsi sistem IUCN dan CITES. Jika keduanya digabung, tentu mengakomodir kepentingan perlindungan dan pemanfaatan yang lestari.
"Dengan mempertimbangkan populasi di alam, di penangkaran, dan di perdaganganan, bukan seperti saat ini yang agak berat sebelah," katanya.
Imron menekankan, adanya permen mengenai status perlindungan satwa dan tumbuhan ditujukan demi memberikan perlindungan jenis-jenis itu di alam. Tapi, munculnya kebijakan baru yang mencabut status perlindungan berperan balik.
Ia khawatir, kebijakan yang baru ini memicu perdagangan dan perburuan ketiga jenis burung itu maupun burung liar jenis lain di alam Indonesia. Kekhawatiran itu dirasa tidak akan muncul jika pemerintah memberi solusi yang jelas.
Sebab, perlindungan yang dimaksud ditujukan bagi satwa dan tumbuhan yang ada di alam. Penangkaran dan pemilik burung kicau dalam Surat Edaran Dirjen KSDAE KLHK menyebutkan burung penangkaran dapat didaftarkan dan diperlakukan secara khusus.
"Sebenarnya status satwa ini tidak memberikan dampak bagi para penangkar dan pehobi burung kicau karena ditujukan untuk melindungi yang ada di alam, jika di penangkaran bisa menunjukkan ada sertifikat ya tidak masalah," ujar Imron.
Untuk itu, ia berharap pemerintah nantinya bisa menyosialisasikan aturan soal penangkaran kepada para penangkar dan pehobi burung kicau. Agar, konservasi berjalan dengan lebih baik dari ini.
Artinya, tidak cuma menjaga kelestarian burung melalui penangkaran, tapi ada kewajiban untuk melepasliarkanya di alam. Menurut Imron, konservasi tidak cuma bicara soal jumlah, melainkan perannya di alam yang tidak tergantikan.
Walau saat ini jumlah tiga spesies burung itu banyak di penangkaran, ketiganya sudah jarang dijumpai di alam liar. Padahal, keberadaannya di alam memiliki peran ekologis yang tidak bisa tergantikan.
Meskipun jumlah burung bsia terjaga melalui penangkaran, terdapat risiko terjadinya inbreeding deprresion. Hal itu mengakibatkan meningkatnya kematian anak burung dan rendahnya keberhasilan reproduksi.
"Jika terjadi inbreeding depression, risiko kepunahan bertambah," kata Imron.