Jumat 12 Oct 2018 14:22 WIB

Pengungsi Harapkan Lapangan Kerja Baru Pascabencana

Pengungsi korban bencana bingung dan banyak yang kehilangan mata pencaharian.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah pengungsi korban bencana alam gempa bumi dan tsunami saat makan di Posko Pengungsian Rumah Dinas Gubernur, Palu, Sulawesi Selatan, Rabu (3/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pengungsi korban bencana alam gempa bumi dan tsunami saat makan di Posko Pengungsian Rumah Dinas Gubernur, Palu, Sulawesi Selatan, Rabu (3/10).

REPUBLIKA.CO.ID, DONGGALA -- Para pengungsi di Dusun Wombo Kalonggo, Tanantovea, Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng), masih membutuhkan logistik untuk ke depannya. Mereka yang kehilangan mata pencaharian pun berharap segera mendapatkan lapangan pekerjaan yang baru.

"Logistiknya aja (yang terpenting). Trauma healing saudara kita tadi setelah dua hari (kejadian bencana) kan trauma. Itu dia kepala dusun. Tapi mungkin dia ada trauma pascagempa kan. Kita ajak sharing dan lain-lain," ungkap salah seorang pengungsi, Nurdiansyah Sunusi (31), di posko pengungsian kepada Republika.co.id, Kamis (11/10) malam.

Sebelum dibangun dapur umum di posko tersebut, warga setempat hanya mengandalkan bahan makanan sisa yang mereka miliki di rumah masing-masing. Bahan makanan itu mereka irit selama 10 hari pascagempa bumi dan tsunami menerjang Sulteng pada Jumat (28/9) lalu.

Pada awal pascabencana, beberapa warga yang mengungsi di lokasi tersebut mencoba mencari bantuan hingga wilayah Pantoloan, Sulteng. Mereka membawa surat rekomendasi dari desa dan pada akhirnya mendapatkan bantuan, meski tidak mencukupi. "Ada dia bilang sudah sampai bantuan ke Posko Kalonggo, tapi tidak sampai," ungkap Nurdiansyah yang mengaku besar di Jakarta itu.

Di tempatnya mengungsi, terdapat warga masyarakat dari tiga desa berbeda, yaitu dari Dusun Wombo Kalonggo, Wombo Mpanau, dan Wombo Induk. Mereka mengungsi di satu lokasi yang merupaakn tanah lapang di dataran tinggi. Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN yang membangun dapur umum di sana memperkirakan ada 300 kepala keluarga dengan jumlah lebih dari 1.000 jiwa di sana. Jumlah itu pun terus bertambah setiap harinya.

Semangat untuk terus menjalani hidup pascabencana ini terlihat di diri Nurdiyah (60). Didi menyampaikan keinginannya untuk berjualan cabai di pasar impres mulai hari ini, Jumat (12/10). Ia akan mengambil cabai di kebun dan menjualnya di pasar impres yang buka hanya setiap Selasa dan Jumat.

"Mau jualan rica (cabai) di pasar dulu. Coba-coba di sekitar ini. Mulai Jumat di pasar impres daripada tidak ada kerjaan nongkrong-nongkrong saja. Sambil cari rejeki," kata dia.

Di samping itu, masih ada beberapa warga yang kebingungan setelah kehilangan mata pencahariannya, salah satunya Haliza (38). Sang suami yang bekerja sebagai buruh kehilangan mata pencaharian karena tempat bekerjanya hancur terkena gempa bumi dan tersapu tsunami.

"Tidak tahu bagaimana. Masalahnya kan kita punya mata pencaharian pokok di bawah toh. Sekarang macam industri-industri, perusahaan, suami kita kerja di situ, sekarang habis," jelas dialeg lokal yang kental.

Haliza berharap, lapangan pekerjaan baru lekas muncul di sekitar wilayahya berdomisili saat ini. Ia yang biasa usaha jual-beli kulit kacang belum bisa kembali berjualan lantaran belum mengetahui secara pasti kapan pasar akan dibuka kembali. Pada Selasa (9/10) lalu, pasar impres di dekat poskonya belum ada transaksi jual-beli.

"Saya usaha kecil jual-beli kukit kacang. Sekarang ada di rumah tapi belum ada trsansaksi jual beli di sini. Kalau sudah aktif kembali pasarnya baru jualan lagi," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement