Jumat 12 Oct 2018 03:31 WIB

Ketakutan Imajinatif di Tanah Rencong

Pelarangan pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah dinilai sebagai bibit intoleran

Masjid Baiturrahman Banda Aceh (ilustrasi).
Foto:
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Selain dialog, penegakan hukum juga harus menjadi perhatian dari aparat keamanan. Setiap upaya atau tindakan yang merugikan orang lain adalah pelanggaran hukum yang harus ditindak sesuai aturan yang berlaku, bukan hanya dicatat dan kemudian 'dimuseumkan'. Penegak hukum memiliki tanggung jawab untuk memastikan keamanan dan kenyamanan setiap warga negara.

Tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan akademikus di Aceh juga harus mengambil peran guna menanamkan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya toleransi dan kesadaran hukum agar konflik sosial dapat dicegah sejak dini. Jika konflik sosial terus dibiarkan atau hanya sekadar dijadikan 'bahan kajian', maka ia akan menjadi ledakan yang sulit dipadamkan di kemudian hari.

Menyikapi peristiwa di Samalanga, saya mengajak kita semua, khususnya masyarakat Aceh untuk tetap bersikap toleran terhadap perbedaan, baik perbedaan pandangan politik maupun perbedaan dalam pemikiran keagamaan. Kita tidak boleh terjebak dalam 'ketakutan imajinatif' yang tak beralasan, sehingga 'menghilangkan' hak-hak orang lain. Ketakutan imajinatif akan mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan tindakan-tindakan diskriminasi guna mempertahankan hegemoni tertentu.

Karena kejadian di Samalanga sudah berulang-ulang, guna menutup tulisan ini, saya ingin mengajukan satu pertanyaan penting; apakah gerakan penolakan terhadap Masjid Taqwa Muhammadiyah di Samalanga sebagai representasi 'kaum modernis' memiliki korelasi dengan entitas kawasan itu sebagai Kota Santri yang diwakili oleh “kaum tradisionalis?” Wallahu A’lam.

*) Mahasiswa Konsentrasi Pemikirandalam  Islam di Pascasarjana UIN Ar-Raniry; Penulis Buku “Habis Sesat Terbitlah Stress” dan Buku “Syariat dan Apa Ta’a”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement