REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan penyalahgunaan anak dalam politik pada Pemilu 2014 masih tinggi. Pada saat itu, KPAI juga mengatakan penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye masih cukup tinggi.
"Kita mengidentifikasi 15 bentuk jenis penyalahgunaan anak dalam politik, terkumpul data 285 pelanggaran hak anak oleh partai politik waktu itu," kata Komisioner KPAI, Jasra Putra, Kamis (11/10).
Tidak hanya itu, pada Pilkada 2017 KPAI juga menemukan 36 bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh calon kepala daerah, tim sukses, dan pendukung. Potensi memakai fasilitas pendidikan menempatkan urutan kedua setelah membawa anak dalam kampanye terbuka.
Terkait hal tersebut, KPAI melarang keras partai politik untuk Pemilu 2019 mendatang menggunakan fasilitas pendidikan. KPAI juga mendorong penyelenggara Pemilu agar tegas dengan peraturan tersebut.
Peraturan dilarangnya anak dalam kegiatan politik diatur pada Undang-undang perlindungan anak nomor 35 tahun 2014 pasal 15. Selain itu, hal senada terdapat dalam Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 280 ayat 1 yang memiliki pesan yang sama untuk perlindungan anak dan melarang lembaga pendidikan dipakai untuk kampanye.
"Kita berharap penyelenggara Pemilu yaitu KPU-Bawaslu untuk bisa menjalankan regulasi tersebut secara tegas, sehingga lembaga pendidikan bisa berjalan sesuai tujuanya yakni menciptakan anak-anak Indonesia yang memiliki keunggulan intelektual, emosial dan spritual yang baik," kata Jasra.