Rabu 10 Oct 2018 21:22 WIB

Delapan Bulan, KPK Terima 3.811 Aduan Tindak Pidana Korupsi

Pemberian hadiah bagi pelapor kasus korupsi disarankan melalui beberapa tahapan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Demo menuntut ditangkapnya para koruptor uang negara
Foto: M Syakir/Republika
Demo menuntut ditangkapnya para koruptor uang negara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang 1 Januari 2018 hingga 31 Agustus 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya menerima 3811 aduan masyarakat terkait  laporan dugaan korupsi. Dari 3811, laporan yang selesai telaah adalah 968 laporan.

Dari data statisik milik KPK per 30 Juni 2018, sepanjang 2018, KPK telah  melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 84 perkara, penyidikan 93 perkara, penuntutan 63 perkara, inkracht 55 perkara, dan eksekusi 54 perkara.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan dari tahun ke tahun, semakin banyak laporan dari masyarakat tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan penyelenggara atau pejabat negara. Meningkatnya operasi tangkap tangan (OTT) merupakan salah satunya bukti peran serta masyarakat.

Diketahui Presiden Jokowi meneken PP Nomor 43 Tahun 2018 dan telah diundangkan oleh Kementerian hukum dan HAM (Kemenkumham) tertanggal 18 September 2018. PP Nomor 43 Tahun 2018 itu telah masuk dalam lembaran negara RI tahun 2018 nomor 157. Dalam aturan tersebut terdapat premi Rp 200 juta bagi pelapor kasus korupsi.

Saut menerangkan, terkait premi Rp 200 juta untuk pelapor kasus korupsi tetap harus melewati penilaian oleh penegak hukum, termasuk KPK. Menurut Saut, penegak hukum akan melakukan penilaian terhadap tingkat kebenaran laporan yang disampaikan oleh pelapor dalam upaya pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa.

Bahkan, dalam memberikan penilaian, penegak hukum mempertimbangkan peran aktif pelapor dalam mengungkap tindak pidana korupsi, kualitas data laporan atau alat bukti, dan risiko bagi pelapor.

"Karena itu, paling tidak untuk sementara waktu jalan dulu lah. Semua cara harus digunakan utk mencegah dan memberantas korupsi, makanya itu disebut korupsi itu ekstra ordinary crime," ujarnya.

Bahkan, sambung Saut, ia mengusulkan secara bertahap hadiah bagi pelapor kasus korupsi bisa meningkat, dari sekian permil sampai maksimal 10 persen atas nilai kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi tersebut. Ia pun membandingkan dengan aturan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, di mana pihak yang menemukan barang diganjar hadiah dengan nilai 10 persen dari barang tersebut.

"Itu di Bea Cukai kalau dapat temuan bisa dapat 10 persen asik juga kan? Jadi kalau di Bea Cukai perbandingan dengan skema uang ganjaran pejabat/pegawai penemu bisa dapat 10 persen," kata Saut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement