Rabu 10 Oct 2018 18:45 WIB

KPK: Pelapor Korupsi Dapat Hadiah Harus Melewati Tahapan

Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
 Wakil Ketua KPK terpilih, Saut Situmorang saat mendatangi Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/12).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Wakil Ketua KPK terpilih, Saut Situmorang saat mendatangi Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyambut baik adanya aturan baru yang tentang pemberian hadiah kepada pelapor kasus korupsi. Namun, sambung Saut, untuk mendapatkan hadiah Rp 200 juta tersebut harus melewati penilaian oleh penegak hukum, termasuk KPK.

Menurut Saut, penegak hukum akan melakukan penilaian terhadap tingkat kebenaran laporan yang disampaikan oleh pelapor dalam upaya pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa.

Bahkan, dalam memberikan penilaian, penegak hukum mempertimbangkan peran aktif pelapor dalam mengungkap tindak pidana korupsi, kualitas data laporan atau alat bukti, dan risiko bagi pelapor.

"Karena itu, paling tidak untuk sementara waktu jalan dulu lah. Semua cara harus digunakan untuk mencegah dan memberantas korupsi, makanya itu disebut korupsi itu extra ordinary crime," ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (10/10).

Bahkan, sambung Saut, ia mengusulkan secara bertahap hadiah bagi pelapor kasus korupsi bisa meningkat, dari sekian permil sampai maksimal 10 persen atas nilai kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi tersebut. Ia pun membandingkan dengan aturan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, di mana pihak yang menemukan barang diganjar hadiah dengan nilai 10 persen dari barang tersebut.

"Itu di Bea Cukai kalau dapat temuan bisa dapat 10 persen asik juga kan? Jadi kalau di Bea Cukai perbandingan dengan skema uang ganjaran pejabat/pegawai penemu bisa dapat 10 persen," kata Saut.

Sebelumnya, Presiden Jokowi meneken PP Nomor 43 Tahun 2018 dan telah diundangkan oleh Kementerian hukum dan HAM (Kemenkumham) tertanggal 18 September 2018. PP Nomor 43 Tahun 2018 itu telah masuk dalam lembaran negara RI tahun 2018 nomor 157.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement