REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S. Nursalim belum memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK akan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura untuk pemanggilan Sjamsul Nursalim.
"Jadi, pada hari Senin dan Selasa diagendakan permintaan keterangan untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, tadi saya pastikan ke tim belum ada konfirmasi terkait dengan datang atau tidak datangnya dua orang tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK RI, Jakarta, Senin (8/10).
Febri pun menyatakan bahwa KPK akan memanggil kembali keduanya jika tidak hadir pada hari Senin (8/10) dan Selasa (9/10). Untuk diketahui, Sjamsul dan Itjih saat ini berada di Singapura. KPK pun akan kembali berkoordinasi dengan KBRI di Singapura juga otoritas setempat memastikan surat pemanggilan sampai di kediaman Sjamsul.
"KPK akan melakukan pemanggilan kembali tentu dengan koordinasi dengan KBRI di Singapura dan juga dengan otoritas di Singapura untuk memastikan surat sampai di kediaman dan kantor yang bersangkutan," ujarnya.
Terkait dengan pemanggilan Sjamsul dan Itjih itu, Febri mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ruang yang diberikan KPK jika memang ada klarifikasi atau informasi yang ingin disampaikan oleh keduanya. "Karena dalam persidangan kemarin dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, ada sejumlah fakta-fakta sidang yang perlu kami telusuri lebih lanjut untuk pengembangan perkara," kata Febri.
Saat ini, dalam pengembangan penanganan perkara BLBI sekitar 26 orang telah dimintakan keterangan dari unsur Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), dan swasta. Sebelumnya, Syafruddin Arsyad Temenggung telah divonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki Sjamsul Nursalim sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.
Dalam putusan, Syafruddin disebut terbukti melakukan korupsi bersama dengan pihak lain yaitu Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim.