REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Selama tiga tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mencatat, pemerintah telah memenangkan gugatan ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sebesar Rp 17,9 triliun.
Direktur Jendral Penegakkan Hukum Kementerian LHK Rasio Ridho Sani menjelaskan, perlawanan hukum kasus kejahatan LHK terdapat 24 permohonan pra peradilan dan dua gugatan perdata. "Selain itu, ada juga tiga gugatan TUN, satu judicial review, tiga uji materi. Termasuk penjualan satwa dan tumbuhan ilegal ada di dalamnya," ucapnya dalam konferensi pers di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (8/10).
Perlawanan hukum tersebut dilakukan terhadap 518 korporasi yang telah dikenakan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, pembekuan dan pencabutan izin. Sebanyak 519 kasus pidana sudah diproses dan dibawa ke pengadilan, serta 18 perusahaan digugat perdata.
Untuk kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sebanyak 171 korporasi dikenakan sanksi administratif, 11 korporasi digugat secara perdata. Sebanyak lima di antaranya sudah memiliki kekuatan hukum tetap dengan nilai pertanggungjawaban korporasi senilai Rp 1,4 triliun dan 12 kasus diproses pidana oleh penyidik Kementerian LHK.
Rasio menambahkan, atas tindakan penegakan hukum tersebut, terjadi dampak positif terhadap karhutla. Ini terlihat dari penurunan titik panas atau hotspot selama tiga tahun terakhir. "Penurunannya mencapai 92,45 persen yang didapat berdasar satelit Terra dan Aqua/Modis," tuturnya.
Rasio mengatakan, perlawanan hukum terhadap korporasi bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, mereka memiliki sumber daya yang besar untuk melawan, meski telah diputuskan bersalah oleh pengadilan. Terbaru, perlawanan balik dilakukan oleh PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong terhadap ahli karhutla, Bambang Hero Saharjo.
Bambang digugat balik oleh PT Jatim Jawa Perkasa (JJP) terhadap kasus kebakaran hutan seluas 1.000 hektar di Rokan Hilir, Riau. Menurut Rasio, perlawanan balik dari PT JJP tersebut merupakan ancaman serius bagi penegakan hukum LHK. "Sebab, keberhasilan penegakan hukum LHK tidak terlepas dari dukungan ilmiah para ahli dan akademisi," ucapnya.
Sementara itu, Bambang yang merupakan guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, gugatan PT JJP tidak berdasarkan hukum dan mengada-ada. Ia merasa sudah menjalankan pekerjaannya sebagai ahli dan akademisi dalam menangani kasus karhutla di Riau tersebut.
Bambang berharap, pengadilan dapat menolak gugatan PT JJP. Apabila tidak, akan semakin sedikit saksi dan ahli yang ingin membantu pemerintah dalam menangani kasus serupa. "Saya mengajak teman-teman akademisi untuk terus memperjuangkan keadilan ekologi demi generasi saat ini dan akan datang," ujarnya.