Ahad 07 Oct 2018 17:55 WIB

Syahadat Terakhir Rika Saat Lumpur Tenggelamkan Petobo

Hajali melihat gempa dan lumpur menengelamkan Petobo.

Petobo, Palu, Sulawesi Tengah pascagempa.
Foto: Republika TV/Fakhtar Khairon Lubis
Petobo, Palu, Sulawesi Tengah pascagempa.

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Dulu tak banyak yang mengenal Petobo, salah satu kelurahan di Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Namun sejak gempa dahsyat berkekuatan 7,4 Skala Richter di Kabupaten Donggala dan gelombang tsunami yang menerjang Kota Palu, pada Jumat (28/9) lalu, daerah ini selalu disebut-sebut dalam berbagai pemberitaan dan menjadi perbincangan publik.

Kelurahan Petobo yang padat penduduk menjadi salah satu lokasi parah terdampak gempa. Masih banyak korban yang belum terevakuasi dari Petobo setelah lebih dari sepekan. Kecil kemungkinan korban bisa selamat.  Belum lagi akses ke Petobo setelah gempa menjadi sulit untuk dijangkau.

Secara geografis, Kelurahan Petobo merupakan salah satu dari 46 kelurahan di Kota Palu, dengan luas wilayah mencapai 1.040 hektare. Daerah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Sigi di arah selatan dan timur.

Di sebelah barat, Petobo berbatasan dengan Kelurahan Birobuli Selatan dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Birobuli Utara. Sebagian wilayah Petobo masuk dalam kawasan Bandara Mutiara SIS Al Jufri.

Baca juga,  Bau tak Sedap dan Pencarian Berbahaya di Petobo.

Sebagaimana dilaporkan oleh Kontributor LKBN Antara Biro Sulteng Moh Ridwan, Petobo berpenduduk sekitar 13 ribu jiwa dan dihuni oleh etnis asli Kaili Ledo, yang telah lama berbaur dengan etnis pendatang dari Bugis, Jawa, Bali, dan etnis lainnya.

Topografi Petobo merupakan lembah sehingga dikenal dengan wilayah Petobo Atas (Ranjule) dan Petobo Bawah (Mpanau. Masyarakatnya pun hidup rukun dan damai.

Sebagian penduduknya merupakan petani, pedagang, selain pegawai negeri sipil dan swasta, serta TNI/Polri.

Singkat kata, penduduk dan Petobo memiliki kehidupan keseharian, sebagaimana kelurahan-kelurahan di wilayah lainnya.

Mengerikan

Pada Jumat (28/9) petang, kondisi jalan begitu ramai, hiruk pikuk kendaraan lalu lalang melintas di Jalan HM Soeharto yang menghubungkan Desa Ngata Baru, Kabupaten Sigi. Ada sebagian baru pulang dari tempat kerja mereka, ada yang di rumah, dan ada pula menuju masjid menunaikan Shalat Maghrib. 

Akan tetapi, suasana yang tadinya ramai dan terasa normal seketika berubah menjadi situasi mengerikan. Penduduk berhamburan setelah bumi terasa berguncang keras, bangunan-bangunan runtuh akibat gempa tersebut.

Gempa berdurasi delapan detik itu seketika mengeluarkan air bercampur lumpur dari perut bumi hingga terjadi gelombang lumpur. Penduduk limbung, bangunan runtuh, bahkan bergerak dengan sendirinya mengikuti pergerakan tanah bercampur lumpur yang berguncang akibat gempa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement