Jumat 05 Oct 2018 05:06 WIB

Kerawanan Gempa di Palu-Donggala yang Terletak di 3 Lempeng

Pergerakan sesar Palu-Koro mencapai 30 sampai 40 milimeter per tahun.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ratna Puspita
Warga korban bencana alam gempa bumi dan tsunami dirawat di RSUD Undata, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Warga korban bencana alam gempa bumi dan tsunami dirawat di RSUD Undata, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kota Palu dan Kabupaten perlu disiapkan untuk menghadapi potensi gempa bumi pada masa mendatang. Sebab, Palu dan Donggala merupakan titik pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia. 

Ketiga lempeng tersebut, yakni lempeng Indo-Asutralia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. “Sehingga, menjadi daerah yang rawan terjadi gempa," kata Pakar Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Subagyo Pramumijoyo, Kamis (4/10). 

Pergerakan lempeng-lempeng itu mendorong pergerakan sesar geser Palu-Koro yang mengakibatkan gempa pekan lalu. Sesar ini tergolong aktif karena pergerakannya mencapai 45 milimeter per tahun.

Baca Juga: Tsunami 7 Meter, Likuifaksi, dan Trauma Mendalam Warga Palu

Guru Besar Rekayasa Gempa dan Dinamika Struktur FTSP Universitas Islam Indonesia (UII), Sarwidi, mengatakan pergerakan sesar Palu-Koro mencapai 30 sampai 40 milimeter per tahun. Pergerakan ini membuat Palu dan Donggala memiliki seismitas tinggi.

Sarwidi menegaskan, gempa tidak membunuh manusia. Namun, terdapat tiga mekanisme yang menyebabkan gempa dapat menimbulkan bencana, yakni goncangan kuat, likuifaksi, dan tsunami.

"Ketiga hal itu terjadi pada kasus gempa di Palu dan Donggala, sehingga menimbulkan kerusakan yang masif dan benyak korban jiwa," kata pengarah BNPB tersebut. 

Gempa berenergi besar, seperti magnitudo 7,4 di Palu dan Donggala, terjadi karena berpusat pada kedalaman dangkal dan mendekati teluk. Akibatnya, goncangan di permukaan sangat kuat, yang diperkirakan mencapai MMI IX.

photo
KM Sabuk Nusantara 39.

MMI atau modified mercalli intensity merupakan ukuran seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa. MMI IX berarti gempa menyebabkan kerusakan pada bangunan yang kuat.

Sarwidi menilai, gempa ini secara mekanisme tidak menimbulkan perubahan volume air laut atau memicu tsunami. Kendati demikian, ia mengatakan, pergeseran lempeng membuat terjadinya longsoran sedimen yang cukup besar di bawah laut. Longsoran tersebut yang memicu terjadinya tsunami.

Posisi Palu di ujung teluk yang menyempit ke daratan membuat gelombang tsunami mengarah ke kota. "Dengan bentuk teluk yang menyempit, energi gelombang tsunami akan semakin kuat ke arah yang semakin dangkal," ujar Subagyo.

Baca Juga: Solidaritas Pergururan Tinggi untuk Mahasiswa Asal Palu

Gempa bumi yang mengguncang Palu dan Donggala turut memunculkan fenomena likuifaksi atau pencairan tanah. Fenomena likuifaksi yang menyebabkan bangunan amblas terjadi karena daya dukung pasir hilang saat terjadi gempa. 

Subagyo mengatakan likuifaksi memang banyak terjadi di tanah berpasir. Saat gempa, tanah berpasir larut dengan air dan menerobos rekahan tanah di permukaan. 

Dari penelitian yang dilakukan sejak 2005 silam, Subagyo mengatakan, kontur tanah di sepanjang Teluk Palu memang mudah mencair atau likuifaksi. Bahkan, menurut Subagyo, ketebalan sedimen mencapai 170 meter, yang membuat Palu tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal. 

photo
Suasana bangunan yang hancur pascabencana alam gempa bumi dan tsunami di Pelabuhan Wani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).

Karena itu, Sarwidi mengatakan catatan kebencanaan merupakan hal yang penting. Ia mengatakan negara membutuhkan sebanyak mungkin data sesar aktif yang menjadi potensi sumber gempa. Selain data potensi tanah bergerak, ia mengatakan, data lain yang harus digali, yakni pesisir yang berpotensi tsunami. 

Tujuannya, melakukan mitagasi bencana. Data kebencanaan dapat menjadi panduan untuk menentukan tata ruang pembangunan permukiman mendatang. Selain itu, ia berpendapat, data kebencanaan dapat digunakan sebagai landasan untuk menerapkan konsep pembangunan yang tahan gempa. "Sadarkan masyarakat dan lakukan simulasi-simulasi darurat bencana gempa," kata Sarwidi.

Baca Juga: Potensi Gempa di Pulau Jawa dan Pentingnya Mitigasi Bencana

Kepala Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM Djati Mardiatno menilai, kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah Sulawesi Tengah masih mnim. Hal tersebut terlihat dari banyaknya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur.

Jika melihat dampak gempa yang mengakibatkan banyak fasilitas umum roboh di Palu maka muncul pertanyaan mengenai keseriusan pemerintah melakukan mitigasi bencana. "Kalau melihat potensi dan ancaman bencana di Palu semestinya masyarakat dan pemerintah sudah siap," kata Djati.


Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement