REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fauziah Mursid dari Palu.
PALU -- Gempa dan tsunami yang mengguncang Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9) menyisakan trauma yang mendalam kepada warga yang terdampak di wilayah tersebut. Betapa tidak, gempa mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia, luka-luka, dan puluhan ribu orang mengungsi.
Tak hanya itu, rumah dan infrastruktur juga banyak yang rusak karena gempa berkekuatan 7,4 skala richter tersebut. Akibatnya, banyak masyarakat Palu yang ingin keluar meninggalkan wilayah tersebut.
Salah satunya, Mardani, warga Kabupaten Sigi, yang hendak meninggalkan Palu menuju Makassar bersama keluarganya. Republika bertemu dengan Mardani yang membawa serta istri, dua anak dan ibunya, saat masih menunggu jadwal keberangkatan pesawat hercules TNI melalui Bandara Mutiara Sis Aljufri, Palu Sulawesi Tengah.
Pesawat Hercules setiap harinya memang dijadwalkan bergantian membawa masyarakat yang meninggalkan kota Palu melalui jalur udara. Saat hendak pergi, Mardani dan keluarga hanya membawa baju seadanya, beberapa tas ransel yang dibawa oleh istri dan anak lelaki tuanya.
Ditemui Republika, Mardani tampak lemah dan pucat, duduk di tepi halaman parkiran bandara Mutiara. "Saya mau ke Makassar mbak, mau cuci darah (dialisis) di sini alat cuci darahnya di rumah sakitnya semua rusak," ujar Mardani lemah, yang diamini oleh istrinya.
Istrinya, Muthia mengatakan, Mardani sudah hampir sepekan tidak cuci darah atas penyakit ginjalnya. Karena gempa terjadi sejam sebelum jadwal dialisisnya dilakukan, bahkan kata dia, ia dan suami menyelamatkan diri dari gempa saat di rumah sakit.
Muthia pun menyebut tidak memiliki kerabat di Makassar, tetapi di wilayah Palopo, Sulawesi Selatan. "Sampai sana (Makassar) katanya dijemput pihak medis, kalau keluarga nanti dengan kerabat yang dekat sana," ujar Muthia.
Ia juga kembali menuturkan, tak hanya dia, beberapa tetangganya pun juga di Sigi, meninggalkan wilayah tempat tinggalnya. Muthia beralasan, rumah yang ditempatinya rusak karena gempa dan tidak dapat ditinggali.
Jika pun bisa, banyak masyarakat trauma karena gempa susulan tersebut terjadi. Lebih lanjut, akses makanan dan air yang sulit menyebabkan warga kesulitan.
"Rumah kami rusak, tidak bisa ditinggali, suami juga harus cuci darah, sekolah anak saya juga roboh," kata dia.
Mardani dan keluarga pun tidak sendiri, ada warga Palu lainnya yang lebih dahulu meninggalkan Palu beberpaa saat setelah gempa melalui jalur darat.
"Beberapa hari setelah gempa, itu masyarakat antri BBM untuk meninggalkan kota Palu, karena akses serba sulit," kata Suwandi, warga kota Palu.
Pantauan Republika di Bandara Mutiara Sis Aljufri juga, warga yang mengantre untuk meninggalkan kota Palu pada Rabu (3/10) cukup banyak. Jumlah ini lebih sedikit jika dibandingkan dua hari sebelumnya, dimana ada warga yang sampai menahan Pesawat Hercules.
In Picture: Kerusakan Permukiman Petobo Dilihat dari Mata Langit