Rabu 03 Oct 2018 04:47 WIB

Potensi Gempa di Pulau Jawa dan Pentingnya Mitigasi Bencana

Data terkait kegempaan seharusnya membuat kesiapsiagaan bencana menjadi perhatian.

Rep: Andrian Saputra, Inas Widyanuratikah, Bayu Adji Prihammanda, Rizky Jaramaya, Muhammad Nursyamsyi, Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Kerusakan akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).
Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Kerusakan akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia berada dalam kawasan Ring of Fire atau cincin api Pasifik yang aktif. Kondisi tektonik membuat sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Pulau Jawa, berpotensi mengalami banyak kejadian gempa. 

Peneliti Geologi Kegempaan LIPI Danny Hilman mengatakan potensi gempa di Indonesia besar. Begitu pula dengan Pulau Jawa. "Potensi gempa itu ada, tetapi kapan terjadinya itu kita tidak tahu," kata Danny dalam diskusi Analisis LIPI untuk Gempa dan Tsunami Indonesia, di Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (2/10). 

Pernyataan Danny merespons pesan berantai di media sosial mengenai prediksi gempa dahsyat di Pulau Jawa. Menurut Danny, pesan tersebut sudah dipelintir sedemikian rupa sehingga mengesankan gempa besar segera terjadi di Pulau Jawa.

LIPI menegaskan belum ada teknologi yang bisa memberikan informasi secara tepat tentang kapan terjadinya gempa. Karena itu, masyarakat diminta tidak mudah termakan hoaks. 

"Jika ada pendapat yang menyatakan mampu memprediksi kapan terjadi gempa bumi beserta kekuatan magnitudonya, bisa dipastikan itu adalah hoaks,” kata  Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto.

Baca Juga: Sudah Siapkah Kita Menghadapi Gempa dan Tsunami?

Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 yang disusun oleh Pusat Studi Gempa Nasional menyebutkan zona subduksi Jawa lebih tenang dibandingkan dengan Sumatra. Gempa besar yang mengakibatkan tsunami memang pernah terjadi di wilayah Jawa, di antaranya gempa magnitudo 7,8 di Jawa Timur pada 1994 dan M7,8 di Pangandaran pada 2006. 

Selain dua tsunami skala kecil tersebut, tidak ada rekaman sejarah terjadinya tsunami besar di zona subduksi Jawa. Pergerakan aseismik tanpa adanya penumpukan energi di Jawa didukung juga dengan umur plate yang menunjam di bawah Jawa relatif lebih tua. 

Kendati demikian, gempa besar pada 1994 dan 2006 menunjukkkan zona subduksi Jawa tidak sepenuhnya aseismik dan menyimpan potensi kegempaan. Peta gempa juga menunjukkan sesar-sesar aktif di Pulau Jawa terhubung.

Sesar utama di Pulau Jawa, yakni Cimandiri, Lembang, Baribis-Citanduy, Semarang, Kendeng, Pasuruan, Probolinggo, dan Baluran. Sesar Baribis di bagian barat merupakan bagian dari jalur sesar naik di belakang busur, termasuk di dalamnya sesar semarang dan sesar-sesar naik di zona Kendeng, Jawa Timur. 

Artinya, kota-kota besar di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Surabaya, Semarang, hingga Cirebon, berada di jalur sesar gempa aktif. 

photo
Peta sesar aktif di Pulau Jawa. (Sumber: Peta Gempa 2017)
"Masyarakat Indonesia siap menghadapi segala kemungkinan bencana," kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko. 

Data ini seharusnya membuat kesiapsiagaan dan kewaspadaan bencana menjadi perhatian agar dampak buruk dapat diminimalisir. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan masyarakat perlu disadarkan lagi soal mitigasi bencana. 

Tidak hanya di Pulau Jawa, melainkan juga daerah-daerah lain mengingat Indonesia sangat rawan terkena bencana. Indonesia menjadi pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Selain itu Indonesia juga terletak di kawasan sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.

"Fakta ini harus diyakini agar masyarakat Indonesia siap menghadapi segala kemungkinan bencana," kata Handoko. 

Ahli Geologi Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IIAGI) Rovicky Dwi Putohari juga mengutarakan pentingnya sosialisasi peta gempa di masing-masing wilayah. 

“Kapan akan terjadi kan kita tak tahu, yang penting itu melihat petanya dan di mana lokasi kita,” kata Rovicky. 

Kepala Pusat Dara Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, pemerintah daerah (pemda) yang wilayahnya rawan gempa harus membuat peta mikro zonasi. Dengan peta itu, dia mengatakan, akan diketahui potensi terjadi gempa.

"Dari sana dijadikan dasar tata ruang. Artinya kalau bangun di daerah itu, boleh tetapi kekuatan konstruksinya harus diatur. Memang lebih mahal," kata dia. 

Ia mengatakan penanggulangan bencana harus diperhitungkan dalam tata ruang. Sebab, mitigasi bencana akan menjadi investasi dalam pembangunan.

Saat ini, ia menyatakan, masih jarang pemda yang memrioritaskan penanggulangan bencana. "Memang lebih mahal, tetapi ketika terjadi bencana jumlah korban sedikit dan kerugian lebih kecil,” kata Sutopo.

Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mendorong agar mitigasi bencana, terutama gempa, dapat diajarkan di sekolah. Jusuf Kalla menjelaskan, anak-anak di sekolah perlu dilatih untuk mitigasi bencana secara berkala, misalnya setahun sekali. 

Menurut Jusuf Kalla, mitigasi bencana tersebut tidak perlu ada kurikulum khusus. "Bisa diajarkan di ilmu bumi, geografi kan namanya bahwa gempa itu bagaimana," ujar Jusuf Kalla ketika ditemui di kantornya, Selasa.

Selain itu, edukasi dan pelatihan tentang mitigasi bencana gempa juga perlu diperluas ke masyarakat. "Paling dilatih sekali setahun, bahkan tidak perlu kurikulum," kata Jusuf. 

Baca Juga: 

Pelaku industri wisata di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) juga berharap ada sosialisasi mitigasi bencana. Para pelaku industri ini sedang mencoba bangkit pascagempa yang melanda sejak akhir Juli hingga Agustus.

General Manager Warna Beach Hotel Rikardus Jumas mengatakan, edukasi dan mitigasi akan bencana masih sangat minim dilakukan oleh pemerintah di Indonesia. Rikardus menyebutkan, hingga saat ini, belum pernah ada sekali pun sosialiasi tentang mitigasi dilakukan pemerintah di Gili Trawangan.

"BPBD punya kapasitas untuk memberi sosialisasi seperti seminar sejak dini, edukasi bahwa negara kita ada cincin api, entah bencana gempa, tsunami, dan gunung," katanya menambahkan.

Mitigasi bencana tidak bisa hanya mengandalkan dari pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah. Sebab, dana dari APBN untuk mitigasi bencana kerap belum memadai.

photo
Anggota tim penyelamat dari Manggala Agni mencari korban gempa dan tsunami di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10). (Antara)

Mitigasi tersebut mencakup penjagaan dan kewaspadaan terhadap bencana alam, termasuk peralatan mitigasi bencana berupa tsunami buoy yang dibutuhkan untuk melakukan deteksi dini. "Alokasi dana yang kurang, terutama untuk sisi mitigasi,“ kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid mengatakan, alokasi dana untuk mitigasi bencana belum memadai kepada Republika.co.id, Selasa.

Sodik menjelaskan, dana yang dialokasikan untuk mitigasi pada 2018 ini hanya berkisar antara Rp 150 miliar hingga Rp 200 miliar. "Idealnya Rp 1 triliun untuk mitigasi, pembangunan budaya sadar dan waspada bencana," kata dia.

Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9). Gempa tersebut menyebabkan gelombang tsunami yang terjadi di pantai Palu dengan ketinggian 0,5 sampai 1,5 meter, di pantai Donggala kurang dari 50 sentimeter, dan pantai Mamuju dengan ketinggian enam sentimeter.

Dalam kejadian gempa di Kota Palu, terjadi juga fenomena likuifaksi. BNPB memerinci likuifaksi terjadi di Perumnas Balaroa yang terdapat sekitar 1.747 unit rumah. Sementara di Perumnas Patobo ada sekitar 744 unit rumah. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement