Menurut Ahli Geologi Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IIAGI) Rovicky Dwi Putohari, sesar Palu Koro memang mempunyai karakteristik yang unik dari sesar lainnya. Sesar ini membelah Pulau Sulawesi atau dari Teluk Palu hingga Lembah Bone.
Sesar yang menjadi sumber terjadinya gempa di Palu, Donggala, dan wilayah sekitarnya itu merupakan sesar dengan liprate atau pergerakan segmen-segmennya dengan kecepatan besar per tahunnya. Bahkan, pergerakan sesar Palu Koro menjadi yang terbesar kedua di antara sesar yang diketahui para ahli ada di pulau-pulau Indonesia.
“Sesar ini memiliki sliprate hingga 45-48 mm per tahun, nomor dua di bawah sesar Sorong,” tutur Rovicky kepada Republika.co.id pada Selasa (2/10).
Sementara pada kejadian bencana alam yang melanda Palu, Donggala, dan wilayah sekitarnya, adanya tsunami, jelas Rovicky, tidak secara langsung disebabkan oleh dislokasi patahan di darat, tapi karena dislokasi longsoran bawah laut.
Pada gempa di Palu dan Donggala itu, getaran gempa skala 7,7 SR menyebabkan longsoran bawah laut yang membuat tsunami. Hal ini pula yang membedakan kejadian tsunami di Palu dan Donggala dengan kejadian tsunami di Aceh pada 2004. Sebab, pada bencana gempa dan tsunami di Aceh, munculnya tsunami dikarenakan dislokasi patahan berada di laut.
“Sesar geser seperti di Palu Koro memang tidak menyebabkan tsunami besar, seperti megathrust, namun sesar geser ini memiliki daya rusak besar karena getaran goyangannya. Ini salah satunya karena sesar geser ini dislokasi/repture-nya berada di darat,” ujar Rovicky menjelaskan.
Potensi tsunami yang dipicu oleh longsoran bawah laut pun tak mudah dikenali oleh para ahli. Menurut Rovicky, diperlukan data bathymetri yang detail untuk mengetahuinya. Bahkan, hal itu pun belum dimiliki oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Akan tetapi, Kota Palu, Donggala, dan wilayah sekitarnya memang telah menjadi perhatian para ahli karena telah lama masuk dalam peta rawan gempa.