REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Pulau Sulawesi, ada tiga lempengan yang saling bertemu. Yakni, Lempeng Benua Eurasia (relatif diam), lempeng pasifik (bergerak ke barat), dan lempeng Australia-Hindia (bergerak ke utara).
Hal itu membuat kondisi geologi Sulawesi menjadi kompleks. Dalam peta sumber gempa nasional yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional pada 2017 menyebutkan, ada 48 sesar di Pulau Sulawesi. Beberapa di antaranya sesar Palu Koro, sesar Matano, sesar Saddang, dan sesar parit-parit. Wilayah yang berada di atas sesar itu pun berpotensi dilanda gempa.
Dalam catatan sejarah, misalnya, telah beberapa kali terjadi bencana gempa Sulawesi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat gempa berkekuatan besar telah terjadi di Sulawesi sejak 1927. Gempa dengan kekuatan 6,5 SR dan disusul Tsunami itu terjadi di sesar Palu Koro. Gempa di Sulawesi juga terjadi pada 1930, 1938, 1996, 1998, 2005, 2008, dan 2012.
Tapi, di antara banyaknya sesar di Pulau Sulawesi, sesar Palu Koro menjadi yang paling dikhawatirkan. Bahkan, Lembaga Ilmuan Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2017 memublikasikan penelitian yang menyebutkan sesar Palu Koro lebih mengkhawatirkan dari sesar Palolo Graben yang memanjang 70 kilometer dan membentuk lembah Paolo dan lembah Sopu. Padahal, sejumlah gempa berskala besar juga pernah terjadi bersumber dari sesar Palo Graben.