Kamis 27 Sep 2018 18:50 WIB

Menteri Siti Nurbaya Bantah Kualitas Udara Jakarta Buruk

Kualitas udara di Jakarta dinilai justru membaik.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
Aktivis menunjukkan aplikasi pemantau kualitas udara UdaraKita dari Greenpeace di Jakarta, Selasa (14/2).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Aktivis menunjukkan aplikasi pemantau kualitas udara UdaraKita dari Greenpeace di Jakarta, Selasa (14/2).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan bahwa kualitas udara Jakarta tidak seburuk yang dilaporkan oleh peneliti asing dan lembaga riset lingkungan lainnya. Dia justru mempertanyakan metode dan alat yang digunakan untuk mengukur kualitas udara di ibu kota.

"Itu datanya salah, waktu Greenpeace merilis, itu pakai alat portabel yang harganya Rp 900 ribu dan buatan Cina. Mengukurnya naik sepeda motor. Kami pake Air Quality Monitoring System (AQMS) dan hasilnya beda," ujar Siti Nurbaya saat ditemui di Hutan Pinus Mangunan, Yogyakarta, Kamis (27/9).

Menurutnya alat AQMS lebih kredibel dalam mengukur kualitas udara. Alat tersebut diletakkan di empat tempat yakni di depan Kedutaan Besar AS di Jalan Medan Merdeka Selatan, Bundaran HI, Pondok Labu, ditambah di Senayan saat Asian Games 2018.

Hasil yang terungkap dari penggunaan alat tersebut sejak 2015, kata Siti, justru kualitas udara di Jakarta membaik dan termasuk kategori sedang. Hal itu melihat dari Bundaran HI sebagai tolak ukur, karena wilayah tersebut salah satu yang padat kendaraan.

Ia mengungkapkan berdasarkan alat tersebut, pada 2015 sekitar lebih dari 60 hari dalam satu tahun Jakarta memiliki kualitas udara yang buruk. Pada 2016, jumlah hari dengan kualitas udara buruk menurun menjadi 30 hari, dan 2017 tinggal enam hari.

Meskipun begitu, Siti tidak menutup kemungkinan kalau kualitas udara yang diukur bisa buruk akibat dari pekerjaan konstruksi infrastruktur di ibuk ota.

"Memang ada hari- hari di mana udaranya juga jadi terpengaruh karena ada instensifnya kendaraan, karena macet dan sedang banyak konstruksi, itu ada pengaruhnya. Itu saya kontrol juga," kata Siti.

Siti menegaskan kepada para pihak agar berhati-hati mengatakan mengenai kualitas udara di Jakarta. Alat dan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas udara harus jelas, sehingga hasilnya dapat diakui kebenarannya.

"Jadi harus hati-hati betul mengatakan kualitas udara Jakarta. Kalau sungai atau air memang kita agak berat. Sungai kita tercemarnya rata-rata dari sedang sampe berat. Itu yang sedang kita bereskan juga," kata Siti.

Sebelumnya Greenpeace merilis data mengenai kualitas udara Jakarta selama Asian Games berlangsung. Greenpeace menyebut konsentrasi PM 2.5 harian memiliki rata-rata  di atas 38 µg/m³. Namun data rata-rata setiap jamnya beberapa kali berada diatas 75 µg/m³. Selain itu ada waktu di mana angka rata-rata 1 jam PM 2.5 di Jakarta mencapai angka di atas 100 µg/m³.

“Data yang kami peroleh menunjukkan kualitas udara selama Asian Games berlangsung di Jakarta 'Tidak Sehat'," jelas Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dikutip dari website Greenpeace.

Greenpeace juga mengutip data yang dikeluarkan oleh NASA Socioeconomic Data and Applications Center (SEDAC), Jakarta menduduki peringkat tingkat polusi tertinggi kedua berdasarkan rata-rata tahunan PM2.5 apabila dibandingkan dengan kota-kota penyelenggara perhelatan olah raga lainnya. Konsentrasi PM2.5 Jakarta mencapai 35 µg/m³ atau 3 kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar WHO, yaitu 10 µg/m³.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement