REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan peningkatan jumlah perempuan dalam pasukan penjaga perdamaian di PBB terkait dengan misi di negara konflik atau pascakonflik menjadi isu deklarasi politik. Saat ini jumlah perempuan dalam pasukan perdamaian masih sangat sedikit.
Jumlah perempuan dalam pasukan perdamaian hanya sekitar tiga persen dari total pasukan yang ada, kata Menlu Retno LP Marsudi di New York, Senin (24/9), kepada wartawan saat mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sementara itu korban dari setiap konflik dan pascakonflik sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
"Secara tradisi mereka (perempuan korban konflik) lebih nyaman berhubungan dengan perempuan," katanya.
Dalam pertemuan para Menlu Perempuan yang digelar di Montreal, Kanada, beberapa waktu lalu, juga menginginkan peningkatan jumlah pasukan perdamaian perempuan di PBB. Peningkatan peran pasukan berjenis kelamin perempuan tersebut menjadi salah satu tema untuk deklarasi politik dalam KTT Perdamaian Dunia yang digelar PBB guna memperingati ulang tahun ke-100 Nelson Mandela, kata Menlu.
Sementara itu, Menlu Retno juga menyoroti menguatnya eksklusifime dan ultra nasionalisme yang menjadi tantangan baru PBB dalam menciptakan perdamaian dan keadilan. Tanpa keadilan bagi seluruh masyarakat bangsa-bangsa, menurut dia, sulit untuk menciptakan perdamaian. Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan oleh seluruh negara.
"Ini tantangan yang dihadapi oleh PBB sehingga PBB khusus mendedikasikan pada tahun ini untuk 'global leadership'. Kita tidak bisa menciptakan perdamaian dari leadership satu dua negara, itu perlu satu global leadership," katanya.