Selasa 25 Sep 2018 06:07 WIB

Hijrah, Titik Penentu Sejarah Islam (II-Habis)

Jika tidak melakukan hijrah, kematian senantiasa membayangi Nabi Muhammad.

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Itulah gambaran Kota Makkah di bawah kekuasaan oligarkis yang menindas dan mengisap. Budak berkeliaran, anak yatim di mana-mana, dan wabah kemiskinan yang membawa maut terlihat di berbagai penjuru, tetapi siapa yang peduli? Hati penguasa Kota Mekkah terkunci terhadap cita-cita kebenaran dan keadilan.

Elite Quraisy bukanlah orang bodoh dalam hal keduniaan. Mereka piawai berbisnis. Dalam surah al-Rûm (30) ayat 7 terbaca: “Mereka kenal sisi luar dari kehidupan dunia, tetapi tentang al-âkhirah [tujuan akhir dari keberadaan manusia di muka bumi] mereka tidak hirau.” Ajaran tentang keesaan Allah yang berimpit dengan konsep kesatuan umat manusia tidak singgah di hati dan di otak elite Quraisy.

Dalam drama karier Nabi ini tampak sekali bahwa Allah memang tidak netral dalam sejarah, campur tangan-Nya sungguh dirasakan, tetapi manusia wajib berjuang. Tanpa kerja keras jangan bermimpi tujuan akan tercapai. 

Nabi dan para sahabatnya telah menempuh jalan terjal yang berliku, demi melaksanakan perintah wahyu. Dalam perjalanan hijrah sepanjang 400 km yang ditempuh sekitar dua minggu di atas punggung onta yang melelahkan itu yang dibayangi ancaman musuh. Tanpa bantuan Langit rasanya mustahil bisa selamat dan kemudian berjaya. 

Kemarahan elite Quraisy kepada Nabi benar-benar sudah sampai di puncaknya. Segala strategi dan siasat telah mereka jalankan agar Nabi tidak meneruskan misi kenabiannya, tetapi selalu berujung pada jalan buntu.

Satu-satunya cara untuk menembus kebuntuan ini adalah dengan menghabisi nyawa Nabi, demi melanggengkan hak-hak istimewa Quraisy yang telah mapan selama ini. Hak-hak itu sekarang hendak dihabisi oleh seorang yang juga sesuku dengan mereka, tetapi miskin. 

Saat lahir, ayahnya ‘Abdullah sudah tiada, sedangkan ibunya Aminah juga telah wafat saat Muhammad masih bocah. Namun, dengan bimbingan wahyu Nabi tetap tak berganjak, segala risiko dihadapi dengan tabah, optimistis, dan pada suatu ketika kota Makkah akan dikuasai kembali.

Optimisme ini bukan berdasarkan ramalan dan perkiraan Nabi karena dia bukan seorang peramal. Tanpa bimbingan wahyu, Nabi tidak punya kemampuan untuk mengetahui kejadian masa depan. 

Alquran surah al-Qashash (28) ayat 85 memang sudah membayangkan bahwa hari kemenangan itu pasti terjadi: “Sebenarnyalah Dia yang telah memberimu Alquran [untuk dijalankan ajarannya] pasti akan mengembalikan engkau ke Ma’ât-tempat kembali [Makkah]. Katakan: Tuhanku lebih mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.”

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement