Selasa 25 Sep 2018 06:07 WIB

Hijrah, Titik Penentu Sejarah Islam (II-Habis)

Jika tidak melakukan hijrah, kematian senantiasa membayangi Nabi Muhammad.

Ahmad Syafii Maarif
Foto:

Selama 13 tahun di Makkah, Nabi telah bekerja keras untuk menjalankan misinya, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan jika tidak melakukan hijrah, kematian senantiasa membayang di depan matanya. Namun, harap dicatat bahwa Nabi telah berhasil mencetak sejumlah kecil pengikut inti yang militan salama periode Makkah. 

Fazlur Rahman menulis: “Seandainya misinya berlangsung secara memuaskan, Nabi tidak akan meninggalkan Makkah karena menguasai kota yang menjadi pusat keagamaan bangsa Arab itu memang menjadi tujuan utamanya.” (Lih. Islam. Chicago and London: University of Chicago Press, 1979, hlm.18).

Periode Madinah kemudian tidak sepi dari peperangan. Bermula dengan Parang Badar pada 624 Miladiah/2 Hijriyah, diikuti oleh berbagai peperangan dahsyat, sampai pada ujungnya Kota Makkah takluk tanpa perlawanan pada bulan Januari 630 Miladiyah/8 Hijriyah. 

Segera amnesti umum untuk mantan musuh dideklarasikan Nabi. Tiada dendam kepada musuh. Bukanlah Islam itu artinya damai, di samping bermakna tunduk berserah diri kepada Allah?

Pada titik puncak kemenangan itu, turunlah surah al-Nashr (110) yang terjemahannya adalah: “Bila datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau lihat manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Maka tasbihlah memuji Tuhanmu, dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima taubat.” 

Kemenangan harus disikapi dengan hati yang tunduk dan rasa syukur yang terdalam. Itulah akhir perjalanan hijrah, titik penentu sejarah Islam. 

Dua tahun kemudian Nabi mulia itu dipanggil menghadap Allah, pencipta-Nya, pada 632 Miladiah/10 Hijriyah. Nabi dan Rasul pungkasan itu telah pergi untuk selama-lamanya, tetapi risalah suci dan agung yang diwariskannya masih tetap bersama kita sampai rapuhnya dunia ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement