REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, diperlukan penegakan hukum yang tegas atas penyebaran berita hoaks atau ujaran kebencian selama masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Ia berharap, penegakan hukum dilakukan dengan cepat, akuntabel, dan transparan kepada publik.
"Kalau terjadi penyebaran ujaran kebencian atau berita bohong selama proses pemilu mestinya penegakan hukumnya itu dengan cepat, akuntabel, dan transparan kepada publik," ujar Titi kepada wartawan di Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu (22/9).
Menurut dia, penegakan hukum dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku. Penegakan hukum yang tegas harus dilakukan tanpa pandang bulu terhadap para penyebar berita bohong ataupun fitnah dalam masa pemilu. Sebab, kata Titi, apabila penegakan hukum tidak dilakukan secara tegas dan terbuka maka dapat memicu orang lain makin berani menyebarkan berita bohong.
Sementara itu, Titi mengatakan, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, penyelenggara pemilu, dan partai politik memiliki tanggung jawab melakukan pendidikan digital atau literasi digital kepada para pemilih dan masyarakat. Sehingga dalam proses pemilu, lanjut dia, masyarakat akan paham mengunakan media sosial secara bertanggung jawab.
"Juga paham bahwa akan ada proses hukum yang mereka hadapi kalau mereka menyebarkan berita bohong atau ujaran kebencian di media sosial ataupun di media konvensional," kata Titi.
Titi menambahkan, tim kampanye dari pasangan calon peserta Pemilu 2019 belum melakukan tindakan tegas secara nyata dalam menyikapi anggotanya yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Menurut dia, seruan kampanye positif masih sekadar pernyataan belaka.
"Tidak ada tindakan untuk menghentikan. Itu harus konkret, misalnya dikeluarkan dari tim kampanye, tidak boleh berbicara lagi atas nama calon. Jadi, anjuran seruan itu ada tetapi ketika ada orang ngeyel, tindakan konkret itu belum ada," tutur dia.
Baca juga, Pemilu 2019 Dihantui Ribuan Berita Hoaks