Jumat 21 Sep 2018 09:21 WIB

Dilema KPU dan Caleg Koruptor

KPU harus memberitahu pemilih soal keberadaan caleg mantan koruptor.

M Nasir Djamil
Foto: Istimewa
M Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh M Nasir Djamil, anggota Fraksi PKS DPR RI

Akhirnya Mahkamah Agung memberikan jawaban untuk melandaikan gelombang ketidakpastian soal keberadaan  calon legislatif mantan narapidana tindak pidana korupsi atau disingkat napi tipikor. Para hakim agung menyebutkan pasal 4 Ayat 3 PKPU Tahun 2018 yang memuat larangan mantan napi tipikor menjadi caleg bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Seperti sudah diduga, berbagai komentar dan tanggapan menyeruak di berbagai media, tak ketinggalan di media sosial.

Sudah jamak diketahui bahwa korupsi adalah jenis kejahatan yang hingga ini masih dikategorikan sebagai musuh bangsa dan merusak sendi-sendi perekonomian negara. Karena itu, seorang mantan napi tipikor, dalam bingkai moralisme tidak layak dan patut mewakili rakyat menjadi anggota parlemen. Bagi penganut mazhab ini, larangan bagi caleg mantan napi tipikor adalah pengangkangan moralitas publik. Karena itu putusan MA yang memberikan lampu hijau untuk mereka dinilai sebagai sesuatu yang kontradiksi dengan kata "agung" yang disematkan kepada hakim di Mahkamah Agung.

Kalau begitu, salahkah hakim agung yang mengabulkan uji materi yang dilakukan oleh  caleg mantan napi tipikor? Tentu saja putusan hakim dianggap benar. Hukum yang legalistik dan formalistik  di satu sisi haruslah menjamin kepastian dan melindungi kepentingan hukum warga negaranya. Meskipun di sisi lain kerap dinilai mengabaikan faktor moral. Hakim yuridis  bukanlah untuk menghakimi pantas atau tidak pantas dalam perspektif moralitas publik.  Hakim yuridis memang menjadikannya stereotip undang-undang belaka. Kelompok yang kontra dengan putusan MA menilai bahwa hakim agung yang membolehkan caleg mantan napi tipikor ikut " bertanding " dalam arena demokrasi tahun 2019 nanti, sudah menjadi tawanan undang-undang dalam sekalian aspeknya

Sebagai wakil Tuhan di muka bumi, para hakim agung telah mengeluarkan sabda hukumnya. Suka atau tidak, uji materi ( judicial review) adalah kekuasaan  pengadilan untuk menentukan apakah suatu produk perundang-undangan itu sah atau tidak. Uji materi adalah bentuk kontrol dari warga negara kepada lembaga atau institusi yang membuat peraturan tanpa memperhatikan hak asasi manusia, baik secara personal maupun komunal. Pengadilan memegang monopoli menafsirkan undang-undang dan ini merupakan amanah yang berat.

Ketika putusan MA membolehkan mantan napi tipikor maju sebagai caleg, sebagian aktivis menyebutkan MA belum memiliki apa yang disebut conscience of the court, dalam hal ini sense of combatting corruption. Karena itu, pertanyaannya adalah apakah putusan MA itu bentuk kediktatoran pengadilan? Memang PKPU larangan bagi caleg mantan napi tipikor tidak dapat dipisahkan dari semangat untuk memberantas korupsi yang konon sudah begitu parah di negeri ini. Namun demikian, putusan MA harus dilihat sebagai koreksi agar setiap lembaga, institusi dan organ penunjang negara lebih berhati-hati membuat terobosan meskipun dengan niat yang mulia.

Setelah putusan MA tersebut, maka KPU harus berjibaku dan berpikir keras bagaimana caranya agar caleg mantan napi tipikor bisa masuk menjadi caleg dalam daftar calon tetap. Sebab, upaya mereka melakukan judicial review, bukan hanya ingin membuktikan PKPU itu bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bisa menjadi peserta dan bertanding dengan caleg dan calon senator lainnya pada pileg 2019. Ibarat pintu, PKPU itu telah menutup peluang mereka. Kini putusan MA mengatakan bahwa pintu itu ilegal. Di sinilah dilemanya KPU.

Integritas parpol

Suka atau tidak, kita patut mengapresiasi langkah KPU soal caleg mantan napi tipikor. Boleh jadi itu adalah langkah untuk menghadirkan integritas partai politik. Upaya menjadikan demokrasi menjadi subtansial eksis dan tujuan bernegara tercapai jika parpolnya berintegritas. Dalam konteks itulah, KPK saat ini sedang mengembangkan sistem integritas parpol, di antara unsurnya adalah perekrutan kader dan politisi serta pejabat publik melalui parpol. Apapun latarbelakang dan jumlah uang yang diambil tanpa sah, pelaku korupsi dipandang sebagai "a rational actor an immoral".

Walaupun dinilai tidak tegas dan lugas, UU Nomor 7 Tahun 2017 telah memuat soal mantan napi tipikor maju sebagai caleg. Pasal 240 Huruf g membolehkan caleg mantan napi tipikor dengan syarat secara terbuka dan jujur memberitahukan kepada publik bahwa yang bersangkutan bekas terpidana. Ini berbeda dengan periode sebelumnya. Kesadaran yang dinilai masih setengah hati ini didasarkan kenyataan bahwa masa waktu 2014-2019 ada sekitar 59 anggota parlemen baik DPR, DPRD, dan DPD, yang tersangkut kasus korupsi. Potret buram inilah yang ingin diterangin sembari tetap memperhatikan hak asasi sang caleg. Realita itu tentu telah membuat citra lembaga parlemen tercoreng.

Instrumen HAM

Bagi caleg mantan napi tipikor yang tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan menilai PKPU tersebut telah melanggar hak asasinya sebagai warga negara. Melarang mereka menjadi caleg selain tidak sesuai dengan undang-undang, KPU telah melakukan sesuatu di luar kewenangannya. Pasal 28D ayat (1)  UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pada Ayat (3) menyebutkan  setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dua ayat dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk dipilih dan memilih, selama hak politiknya tidak dicabut oleh negara melalui keputusan pengadilan. Ini adalah hak yang paling mendasar. Benar bahwa mereka pernah dihukum penjara karena korupsi. Pidana yang mereka jalani juga bertujuan agar mereka bisa kembali hidup normal dan bahagia di tengah keluarga dan masyarakat.

Di sinilah titik keseimbangan itu harus dijaga. Pemberian efek jera dan gentar yang dituangkan dalam PKPU juga harus sejalan dengan hak mendasar yang dimiliki warga negara. Hakim adalah orang yang arif dan bijaksana, meskipun putusannya kemudian menimbulkan pro dan kontra. Tidak ada memang orang yang seratus persen menerima dan senang dengan putusan hakim. Tapi di sinilah ujian demokrasi agar tidak mengalami paradoks.

Ide cerdas

Kini publik sedang menunggu aksi KPU pascaputusan MA. Jika tidak disiasati dengan kepala dingin, kondisi akan lebih rumit lagi. Biarkan elemen sipil yang kontra melakukan eksaminasi terhadap putusan MA itu. KPU harus bekerja cepat dan tepat karena hajat akbar demokrasi sudah di depan mata.  Yang dibutuhkan oleh publik adalah seperti kata pepatah, ular mati tapi ranting tak patah. Kalimat bijak itu sangat ditunggu agar kehadiran caleg mantan napi tipikor tidak seperti gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

Dalam konteks caleg mantan napi tipikor, maka KPU harus memiliki ide yang cerdas untuk memberitahukan kepada khalayak pemilih soal keberadaan mereka. Tapi tentu saja ide itu tidak diskriminatif dalam pemilihan kata-kata. KPU harus menjadi institusi yang sejuk dan tidak menyebar kebencian masyarakat terhadap caleg mantan napi tipikor. Sebab mereka juga manusia dan kesalahan masa lalu telah ditebus dengan kurungan badan dan denda material. Mereka pun sudah berintegrasi dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Langkah brilian KPU kini memang sedang dinanti dengan degupan jantung oleh caleg mantan napi tipikor. Sebab jika mereka terpilih kembali tentu banyak hal yang harus dievaluasi. Bisa jadi masyarakat  tidak sensitif dengan isu korupsi. Bagi sebagian mereka yang terpenting bagaimana bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang makin sulit.

Langkah dan cara jitu KPU kini sedang ditunggu. Apakah menerima bulat-bulat putusan MA atau merevisi PKPU. Saran saya, bisa saja KPU memberikan sanksi kepada parpol yang ada caleg mantan napi tipikor tapi tidak mengumumkannya ke publik. KPU pun diharapkan bekerjasama dengan semua elemen antikorupsi mengkampanyekan secara massif soal keberadaan caleg terpidana korupsi, baik secara langsung atau tidak, dan memanfaatkan semua media yang bisa diakses oleh pemilih.

Dari semua itu dan akhir tulisan ini, kita berharap KPU tetap berlaku adil. Janganlah kebencian kita terhadap caleg mantan napi tipikor membuat kita menzalimi mereka secara politik. Parpol juga ikut bertanggungjawab  mencerdaskan pemilih sehingga mereka menjadikan  demokrasi lebih subtansial. Pemilih kritis dan cerdas  sangat ditunggu agar caleg mantan napi tipikor bisa melihat dan merasakan langsung apakah mereka kelak  beruntung atau tidak menjadi anggota parlemen. Semoga ide cerdas KPU dalam menyiasati caleg mantan napi tipikor dan integritas parpol bisa membuat kualitas demokrasi lebih baik. Wallahu a'lam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement