Senin 17 Sep 2018 16:18 WIB

Mendukung Ulama Wajar dalam Pemilu

Dukungan kepada ulama adalah bentuk demokrasi partisipatoris.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Andi Nur Aminah
Peneliti politik LIPI Siti Zuhro memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/9).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Peneliti politik LIPI Siti Zuhro memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, dukungan ulama kepada pasangan bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) merupakan hal yang wajar. Menurut dia, itu merupakan bentuk kejamakan ulama di Indonesia.

"Ulama ini kan tidak tunggal di Indonesia. Ada sebagian ulama memang senang dengan Prabowo, juga Jokowi," kata dia di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/9).

Ia menilai, dukungan kepada ulama adalah bentuk demokrasi partisipatoris. Dengan begitu, rakyat dapat berpartisipasi langsung dalam demokrasi. Artinya, demokrasi berjalan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Saat ini, kata dia, masyarakat dapat mengawal langsung capres dan cawapres. "Tidak ada yang salah, biar saja mereka berekspresi. Bahwa warga negara yang memiliki hak memilih, yang memiliki preferensi pilihannya itu tidak ada yang salah. Mereka punya otoritas," ujar dia.

Dengan otoritas yang dimiliki, Siti menyebutkan, wajar jika para ulama memilih calon yang sesuai dengan pikirannya. Dukungan itu, kata dia, justru tidak boleh diteror. Pasalnya, hal itu merupakan bagian dari kemewahan demokrasi.

Menurut dia, demokrasi adalah memberikan ruang yang sama bagi warga negara untuk memilih sesuai dengan preferensinya. "Biar saja. Itulah demokrasi. Tapi tidak boleh mengatakan yang lain jelek, kecuali program dan kualitasnya, disampaikan saja," kata dia.

Karena itu, ia melanjutkan, tak masalah jika ulama terbagi dalam dua kelompok pendukung capres dan cawapres. Pasalnya, pemilu merupakan ajang bagi ulama, yang juga bagian dari masyarakat untuk menentukan pilihan. "Kecuali enggak ada pemilu, ada kayak gini aneh. Ini memang pemilu, so what? Jangan di sebelah sana boleh, di sini enggak boleh. Harus ada fairness, keadilan di situ," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement