Senin 17 Sep 2018 06:45 WIB

Bayangkan, Koruptor Bantuan Gempa Terpilih Jadi Legislator

Korupsi disebut sebagai kejahatan yang berulang.

Rep: N MABRUROH, DIAN ERIKA NUGRAHENY, BAYU ADJI PRIHAMMANDA/ Red: Muhammad Hafil
Koruptor, ilustrasi
Koruptor, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  Pada Jumat (14/9) kemarin, publik dikejutkan dengan pemberitaan bahwa Mahkamah Agung (MA) membolehkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Di hari yang sama, publik dikejutkan berita dari Nusa Tenggara Barat (NTB) di mana ada seorang anggota DPRD Kota Mataram yang tertangkap tangan oleh Kejaksaan Negeri NTB melakukan pemerasan dana bantuan gempa Lombok untuk bidang pendidikan.

Diketahui, anggota DPRD Kota Mataram berinisial HM itu juga merupakan seorang bakal caleg untuk DPRD Kota Mataram pada Pemilu 2019 mendatang. Meskipun, pencalonannya kemungkinan akan gagal karena Partai Golkar selaku tempat ia berjuang telah memecatnya. 

HM masih menjadi tersangka dan belum terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun, sebuah operasi tangkap tangan tentu ada barang bukti yang didapatkan pihak penegak hukum yang melakukan operasi dari orang yang ditangkap.

Hukuman untuk korupsi bantuan gempa sangat berat. Hukuman maksimalnya, pelaku bisa dihukum mati. Dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sejak diberlakukannya UU Tipikor pada awal reformasi lalu, baru ada dua kasus korupsi dana bantuan gempa.

Pertama, korupsi dana bantuan gempa dan tsunami yang dilakukan oleh mantan bupati Nias Binahati Benediktus Baeha. Kedua, dugaan pemerasan bantuan gempa Lombok oleh anggota DPRD Kota Mataram berinisial HM.

Berdasarkan data KPU, ada 200 mantan narapidana kasus korupsi yang mendaftar menjadi bakal caleg dari berbagai partai di sejumlah DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia untuk Pemilu 2019.

Nama-nama mereka telah dikembalikan oleh KPU karena berdasarkan PKPU tentang Pendaftaran Caleg, mantan narapidana korupsi tidak diperkenankan menjadi seorang caleg. Namun, putusan MA merubah aturan itu. MA menggagalkan aturan itu dan membolehkan mantan narapidana korupsi untuk menjadi seorang caleg.

Baca juga: Soal Ajakan Nahdliyin Pilih Jokowi, Ini Kata Gus Sholah

Sekarang bayangkan, jika ratusan koruptor itu kembali mendaftar karena telah dibolehkan kemudian terpilih, apa yang akan terjadi? Mungkinkan seorang koruptor seperti pemeras uang bantuan untuk gempa di Mataram tadi bisa mewakili rakyatnya di DPRD? Dan, masih banyak lagi para koruptor pada kasus suap-menyuap, korupsi anggaran,  mark up, hingga penggelapan, yang sudah terbukti kemudian terpilih menjadi wakil rakyat.

"Ya, hal seperti ini sangat sulit dibayangkan. Korupsi itu adalah kejahatan yang terus berulang. Sehingga, apabila dia nanti lepas dari penjara, dia akan berpotensi mengulangi korupsinya saat menjadi anggota dewan,” kata Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari kepada Republika.co.id, Ahad (16/9).

Feri mengatakan, kekhawatiran korupsi sebagai kejahatan yang berulang adalah berdasarkan kajian dari tim perumus PKPU tentang Pendaftaran Caleg di mana Feri adalah sebagai salah satu anggotanya. Contohnya, lanjut Feri, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada beberapa koruptor yang kemudian terpilih lagi menjadi anggota dewan, maka dia melakukan hal yang sama ketika sudah terpilih.

Baca juga: Ijtima Ulama II Resmi Dukung Prabowo-Sandiaga

Selain korupsi, kejahatan lainnya yang dikhawatirkan berulang adalah kasus bandar narkoba dan kejahatan seksual anak. “Maka dari itulah, tiga jenis kejahatan itu kita pandang sebagai kejahatan luar biasa yang bisa berulang sehingga menjadi dasar bagi KPU melalui PKPU untuk melarang mantan narapidana ketiga kasus itu untuk kembali menjadi caleg,” kata Feri.

Mantan anggota Bawaslu Wahidah Suaib menilai masyarakat kecewa pada putusan MA yang membatalkan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Menurut dia, keputusan itu berpotensi menghadirkan anggota legistlatif yang tak berintegritas.

"Memang tamparan keras ya buat perjuangan dan spirit publik yang tinggi untuk lawan korupsi," kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Ahad (17/9).

Baca juga: Terbongkarnya Sel Mewah di Lapas Sukamiskin

Sementara, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang menyatakan bahwa putusan MA soal napi korupsi mencerminkan bagaimana peradaban politik di Indonesia. Yang karenanya akan menentukan bagaimana nasib bangsa ini ke depan.

Menurut Saut, kemajuan peradaban perpolitikan di setiap negara memiliki jalannya masing-masing. Yang mana maju atau tidaknya peradaban politiknya ditentukan oleh tokoh -tokoh di negara tersebut dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas mereka.

“Peradaban politik tiap negara memiliki jalannya sendiri-sendiri dan banyak ditentukan oleh bagaimana tokoh-tokoh di negara itu (dalam) mengusung nilai-nilai integritas untuk diri dan rakyatnya,” kata Saut, Ahad (16/9).

Begitupun lanjut Saut, dengan putusan MA yang telah membolehkan eks napi korupsi menjadi calon legislatif. Maka putusan tersebut juga mencerminkan bagaimana kondisi peradaban hukum Indonesia.

“Putusan itu bagian dari beradaban hukum kita yang perlu dinilai dan dihargai. Dinilai karena peradaban politik kita masih seperti itu, mau apalagi,” ucapnya.

photo
Usulan KPU dalam PKPU yang melarang mantan koruptor menjadi caleg.

Oleh karena itu, mau tidak mau KPK harus menghormati putusan MA tersebut. Serta menghargai putusan yang telah diambil oleh lembaga tinggi negara itu.

“Dihargai karena memang datang dari lembaga yang kompeten untuk memutuskan beda pandang tentang cara kita melihat seseorang yang telah bertanggungjawab atas kesalahannya,” tutur Saut.

Oleh karena itu tambah Saut, antara peraturan KPU yang melarang eks napi koruptor menjadi caleg dan putusan MA yang membolehkan agar dikembalikan saja kepada internal orang yang bersangkutan serta partai politik itu sendiri. Apakah akan melanjutkan atau memilih untuk memulai membuat bersih negeri ini.

“Kembalikan saja pada semangat internal setiap parpol seperti apa, lalu biar nanti rakyat pemilih yang menilai,” tuturnya.

Baca juga: Ini Alasan GP Ansor Minta Polisi Pertimbangkan Ceramah UAS

Sebelumnya, MA memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada Undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017)," ujar Juru Bicara MA Suhadi ketika dihubungi wartawan, Jumat (14/9).

Dengan demikian, maka aturan tentang pendaftaran caleg dikembalikan sesuai dengan yang ada dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam aturan UU itu, larangan eks koruptor menjadi caleg tidak disebutkan secara eksplisit.  Suhadi kemudian menjelaskan tentang pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan MA. Pertama, MA memandang jika kedua PKPU bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Selain itu, mantan narapidana kasus korupsi boleh mendaftar sebagai caleg asal sesuai ketentuan undang-undang pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tegasnya.

Secara rinci, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tertuang dalam pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Pasal itu berbunyi 'dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (partai politik) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

Sementara itu, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPD tertuang dalam pasal 60 huruf (j) PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Pasal tersebut menyatakan, 'perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

photo
Daftar parpol penyumbang caleg dari mantan narapidana korupsi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement