Ahad 16 Sep 2018 09:22 WIB

Mantan Caleg Koruptor Harus Mengumumkan Statusnya

Presiden disarankan mengambil langkah membuat Perpu caleg koruptor.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Indira Rezkisari
Penyaringan caleg mantan koruptor
Foto: republika
Penyaringan caleg mantan koruptor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Divisi Advokasi Komite Pemantau Pemilu (Kopel) Indonesia, Anwar Razak, menyayangkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait pencalonan anggota legistlatif mantan narapidana (napi) kasus korupsi. Menurut dia, putusan MA itu semakin menjauhkan harapan publik yang menginginkan parlemen bebas korupsi.

Meski begitu, ia mengatakan, masih ada cara untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk tidak memilih calon anggota legistlatif (caleg) mantan koruptor. Menurut dia, merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), mantan napi koruptor harus mengumumkan dirinya secara luas.

"Ini yang perlu KPU (Komisi Pemilihan Umum) perkuat. Termasuk menandai nama caleg mantan koruptor di DCT (daftar calon tetap). Ini juga pernah diusul Presiden beberapa bulan lalu," kata dia dalam keterangan tertulis, Ahad (16/9).

Selain itu, Anwar melanjutkan, KPU bisa saja menunda putusan MA. Pasalnya, ada waktu tiga bulan untuk menjalankan putusan MA.

Namun sulit dibayangkan KPU mengambil sikap tersebut. Pasalnya, kata dia, KPU hanya memiliki waktu beberapa hari sebelum pengumuman DCT. "Kita juga tentu memikirkan agar tidak menjadi konflik berkepanjangan," kata dia.

Anwar menyarankan, Presiden juga dapat mengambil angkah dengan membuat Peraturan Pengganti UU (Perpu) terhadap koruptor. Menurut dia, hal itu dinilai wajar, mengingat praktik korupsi di lembaga negara dan daerah yang kian mengkhawatirkan.

"Bahkan sudah status darurat. Kasus Malang adalah fakta, nyata bagaimana korupsi berjamaah yang marak. Karenanya Perpu menjadi penting," ujar dia.

Menurut dia, langkah para caleg yang mengajukan gugatan ke MA merupakan hal yang ironis. Pasalnya, dalam berkas pengajuan caleg, partai politik telah menandatangani pakta integritas tidak mencalonkan mantan napi kasus korupsi.

Menurut dia, partai yang tetap mencalonkan mantan koruptor jelas ingkar janji. "Bisa dikategorikan partai yang tidak bisa dipercaya," ucapnya.

Sebelumnya, MA memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan napi kasus korupsi menjadi caleg pada Kamis (13/9). MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada Undang-Undang," ujar Juru Bicara MA, Suhadi, ketika dihubungi wartawan, Jumat (14/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement