Jumat 14 Sep 2018 09:12 WIB

Analisis Politik Dua Kaki Demokrat

Politik dua kaki ini menjadi tanya besar keseriusan Demokrat dukung Prabowo-Sandiaga.

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima kedatangan Bakal Calon Presiden yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Bakal Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno sebelum melakukan pertemuan di kediaman SBY, Jakarta, Rabu (12/9).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima kedatangan Bakal Calon Presiden yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Bakal Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno sebelum melakukan pertemuan di kediaman SBY, Jakarta, Rabu (12/9).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Adi Prayitno, Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik

Langkah politik Partai Demokrat disorot publik. Sikapnya yang mendua dituding sebagai politik cari aman. Satu sisi sudah definitif mendukung Prabowo, di sisi lain membiarkan kadernya mendukung Jokowi.

Katanya atas nama demokrasi internal partai. Secanggih apa pun argumentasinya, Demokrat sulit menghindari tuduhan bermain di dua jangkar kekuatan. Demokrat berdalih, ini didasarkan pada terbelahnya suara kader sejak awal kandidasi pencapresan.

Wakil Ketua Demokrat Syarif Hasan di sejumlah kanal media mengatakan, hasil survei internal mereka menunjukkan kecenderungan mayoritas kader Demokrat mendukung Prabowo, sebagian kecil lainnya mendukung Jokowi.

Meski kecil, kader Demokrat yang migrasi ke Jokowi adalah pemain bintang. Misalnya, Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB), dan mantan wakil gubernur Jabar Deddy Mizwar.

Termasuk sejumlah DPD Demokrat yang deklarasi mendukung Jokowi tak bisa disepelekan. Sementara, Wahidin Halim dan Soerkarwo yang diklaim mendukung Jokowi masih simpang siur. Belum ada info valid yang pasti.

Arus deras migrasi politisi Demokrat ke Jokowi menjadi tanda tanya besar soal keseriusan dukungan ke Prabowo. Apalagi Demokrat tak pernah memberikan sanksi apa pun pada mereka yang jelas berbeda haluan.

Wajar jika Demokrat dituding tak maksimal. Berbeda dengan Golkar dan PPP yang memecat kader pembelot pada Pilpres 2014. Sebelum dituding main dua kaki, Demokrat sedari awal diragukan keseriusannya mendukung Prabowo.

Ketidakhadiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada dua momen penting, saat deklarasi dan pendaftaran ke KPU, menebalkan keyakinan publik Demokrat setengah hati berlabuh ke Prabowo.

Sebab, SBY kerap muncul pada momen penting demi meneguhkan sikap politiknya.

Kehilangan momentum

Politik dua kaki Demokrat cukup bisa dipahami karena partai ini kehilangan momentum di Pemilu 2019. Indikasinya ada tiga. Pertama, Demokrat gagal memperjuangkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.

Padahal, upaya yang telah dilakukan cukup maksimal demi memberikan karpet merah pada sang putra mahkota. Namun, arah mata angin politik tak terlampau menguntungkan kubu Cikeas.

Demokrat yang menokohkan AHY sejak Pilkada DKI Jakarta belum mampu menembus semak belukar rimba politik Tanah Air. AHY kalah bersaing dengan figur lain yang sejak lama berinvestasi politik. Bukan secara tiba-tiba muncul di permukaan.

Elektabilitas AHY menjulang di level cawapres, tapi chemistry dengan partai lain belum terkonsolidasi baik. Sepinya partai yang meminati AHY sebagai cawapres mungkin bagian dari ‘kutukan’ politik nonblok Demokrat selama ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement