Rabu 05 Sep 2018 23:17 WIB

AGRA Desak Pemerintah Penuhi Hak Korban Bencana di NTB

AGRA menilai saat ini mayoritas korban gempa masih dalam situasi darurat

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Warga korban gempa mengangkat air di Posko Pengungsian Dusun Lendang Re, Desa Lembah Sari, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, NTB, Kamis (6/9).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Warga korban gempa mengangkat air di Posko Pengungsian Dusun Lendang Re, Desa Lembah Sari, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, NTB, Kamis (6/9).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mendesak pemerintah memenuhi hak korban bencana Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sekretaris Jenderal (Sekjen) AGRA Mohammad Ali mengatakan, hampir seluruh harta benda dan sumber kehidupan rakyat tersapu oleh bencana.

Kini, dia katakan, korban bencana hidup di tenda darurat yang jauh dari kata layak dan mengandalkan bantuan yang datang dari masyarakat serta pihak lain termasuk pemerintah."Lambatnya bantuan yang diberikan pemerintah dan buruknya layanan terhadap korban bencana telah menimbulkan masalah baru," ujar Ali dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id di Mataram, NTB, Rabu (5/8).

Ia menjelaskan, pemenuhan kebutuhan pokok korban bencana berupa pengungsian darurat yang layak, pemenuhan bahan makanan, pemenuhan kebutuhan air bersih dan layanan kesehatan masih banyak yang tidak diberikan, padahal hal itu adalah hak korban bencana sebagaimana tertuang dalam Undang Undang no.24 Tahun 2007 tentang penanganan bencana.

Ia menilai, pengumuman berakhirnya masa tanggap darurat pada 25 Agustus lalu disertai keluarnya inpres nomor 5 tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Lombok bukan berarti situasi darurat di Lombok sudah tertangani pemerintah.

"Kenyataannya hingga 5 September 2018 ini (10 hari setelah terbit inpres) tidak ada pelaksanaan penyediaan pengungsian darurat yang layak dan aman sebagaimana itu adalah kewajiban pemerintah," katanya. Pun dengan pemenuhan kebutuhan pokok korban seperti bahan makanan, penyediaan air bersih serta layanan kesehatan tidak diberikan secara cuma-cuma dan tidak merata. 

Ia melanjutkan, di saat bahan pangan kebutuhan pengungsi tidak tercukupi, masih juga terlihat penumpukan bantuan di posko pemerintah yang belum juga di distribusikan kepada korban. Ia mengungkapkan, sampai saat ini mayoritas korban gempa masih dalam situasi yang darurat. 

Ali menjelaskan, mayoritas warga Lombok adalah kaum tani yang sebagian besarnya adalah buruh tani dan tani miskin, yang sebelum terjadi bencana sekalipun telah hidup menderita. Bahkan, lanjut dia, pemerintahan Jokowi pada 2015 menetapkan Lombok sebagai daerah miskin dan tertinggal.

"AGRA sebagai organisasi yang menghimpun kaum tani, nelayan dan suku bangsa minoritas telah menjadi bagian dari perjuangan rakyat Lombok sejak puluhan tahun lamanya. Sejak awal bencana, AGRA telah mendesak pemerintah menetapkan bencana Lombok sebagai bencana nasional sebagai tanggung jawab dan wujud keseriusan pemerintah menangani persoalan korban bencana," ucap Ali.

Ia memandang, penolakan pemerintah menetapkan sebagai bencana nasional dengan alasan mengganggu pariwisata dan lebih mengutamakan pelayanan terhadap korban bencana sejenak meredam amarah korban bencana. Namun, kata dia, buruknya pelayanan pemerintah terhadap korban bencana dan hak korban yang tidak terpenuhi hingga kini justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menjamin keselamatan korban bencana.

AGRA, lanjut Ali, juga menilai program rehabilitasi dan rekonstruksi pemerintah melanggar hak korban pada saat pemerintah tidak memastikan ketersediaan pengungsian darurat yang layak, penyediaan bahan pangan, air dan layanan kesehatan selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi.

"Kami juga mengecam sikap pemerintah yang menghilangkan hak korban untuk mendapatkan tempat tinggal darurat sebelum dikeluarkanya bantuan pembangunan rumah untuk para korban," katanya.

Hal ini merujuk pada pernyataan pemerintah bahwa untuk pembangunan tempat tingal sementara diserahkan kepada relawan dan diimbau tanpa menggunakan anggaran daerah maupun pusat dengan tetap mengkordinasikan dengan pemerintah. Ia menerangkan, membiarkan warga hidup di tenda yang tidak layak tanpa jaminan pemenuhan kebutuhan pokok serta layanan kesehatan selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi adalah pelanggaran hak korban dan kejahatan kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement