Senin 03 Sep 2018 13:44 WIB

Nasib Pilu Wartawan Reuters Investigasi Rohingya

Wartawan Reuters dijatuhi vonis tujuh tahun penjara.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Teguh Firmansyah
Dua wartawan Reuters yang dipenjara pengadilan Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo.
Foto: Radio Free Asia
Dua wartawan Reuters yang dipenjara pengadilan Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Nasib dua wartawan Reuters yang mengungkap tragedi kemanusiaan Rohingya berakhir pilu. Pengadilan di Myanmar menghukum keduanya selama tujuh tahun penjara karena melanggar undang-undang rahasia negara saat menyelidiki kekerasan terhadap Rohingya.

Hakim distrik utara Yangon Ye Lwin mengatakan, Wa Lone (32 tahun) dan Kyaw Soe Oo (28 tahun) melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial ketika mengumpulkan dan memperoleh dokumen rahasia.

"Para terdakwa telah melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi 3.1.c, dan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Waktu yang sudah dilayani oleh para terdakwa mulai 12 Desember akan dipertimbangkan,” kata hakim, Senin (3/9).

Vonis tersebut memicu keprihatinan dunia internasional. Apalagi, baru-baru ini PBB mengungkapkan laporan yang menyebut ada upaya genosida terhadap Rohingya. Aksi mengarah genosida itu dilakukan oleh militer Myanmar.

Para pendukung kebebasan pers, PBB, Uni Eropa, dan negara-negara termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Australia meminta pembebasan wartawan Reuters. Sementara, pihak Reuters berduka atas vonis tersebut. Mereka pun mengindikasikan akan menggunakan jalur internasional menyikapi vonis tersebut.

Baca juga, Myanmar Tuntut PBB Berikan Bukti Genosida Rohingya.

"Hari ini adalah hari yang menyedihkan bagi Myanmar, wartawan Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, dan pers di mana-mana," kata kepala editor Reuters Stephen J Adler dalam sebuah pernyataan.

“Kami tidak akan menunggu ketika Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menderita ketidakadilan ini dan akan mengevaluasi bagaimana untuk melanjutkan dalam beberapa hari mendatang, termasuk apakah mencari pertolongan di forum internasional," ujarnya menmbahkan.

Para wartawan mengatakan kepada pengadilan, dua petugas polisi menyerahkan berkas-berkas kepada Ye Lwin dan Wa Lone di sebuah restoran di Yangon utara beberapa saat sebelum petugas lain menangkap keduanya.

Seorang saksi polisi memberi kesaksian bahwa rapat di restoran itu merupakan suatu persiapan untuk menjebak para jurnalis. Rapat itu digunakan untuk menangkap mereka karena melaporkan pembunuhan massal Muslim Rohingya.

photo
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh.

"Saya tidak takut. Saya tidak melakukan kesalahan apa pun. Saya percaya pada keadilan, demokrasi, dan kebebasan," kata Wa Lone setelah putusan.

Putusan itu berarti Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, yang keduanya memiliki anak perempuan dan tidak melihat keluarga mereka di luar kunjungan penjara dan persidangan selama hampir sembilan bulan, tetap berada di balik jeruji besi.

Sebelumnya, penyidik PBB menyatakan, militer Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Muslim Rohingya dengan niat genosida. PBB juga menyatakan bahwa panglima tertinggi dan lima jenderal harus dituntut karena mendalangi kejahatan paling suram di bawah hukum ini.

Dalam laporan PBB disebutkan, pemerintah sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi telah mengizinkan pidato kebencian untuk berkembang, menghancurkan dokumen, dan gagal melindungi minoritas dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang oleh tentara di Rakhine, Kachin, dan negara-negara Shan.

"Dengan demikian, mereka berkontribusi terhadap kejahatan-kejahatan itu," kata laporan itu, Senin (27/8).

Setahun yang lalu, pasukan pemerintah memimpin tindakan brutal di negara Rakhine, Myanmar, sebagai tanggapan atas serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di 30 pos polisi Myanmar dan pangkalan militer.

Sekitar 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari penindasan dan sebagian besar kini tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Bangladesh. Laporan PBB mengatakan, tindakan militer yang termasuk membakar desa-desa, sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan sebenarnya.

Pemerintah Myanmar menolak laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait adanya genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah mengatakan, komunitas internasional tengah membuat tuduhan palsu berkenaan dengan laporan serta tudingan genosida yang dilakukan oleh pemimpin militer negara.

Otoritas setempat menegaskan, sikap negara jelas dan tajam bahwa Myanmar tidak menerima resolusi apa pun yang dilakukan oleh dewan HAM.

Juru Bicara Pemerintah Myanmar Zaw Htay mengatakan, Myanmar tidak memberikan akses terhadap tim investigasi PBB untuk memasuki negara. "Itu sebabnya kami tidak sepakat dan tidak menerima resolusi apa pun dari dewan HAM," kata Zaw Htay.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement