Sabtu 01 Sep 2018 11:22 WIB

Makna Pelukan Jokowi-Prabowo

Kita kembali mendengar doa dari semua pemeluk agama untuk satu momen pertandingan

Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia Prabowo Subianto dan Pesilat Indonesia Hanifan Yudani Kusumah berpelukan usai pertandingan cabang olahraga silat Asian Games 2018 di Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta, Rabu (29/8).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia Prabowo Subianto dan Pesilat Indonesia Hanifan Yudani Kusumah berpelukan usai pertandingan cabang olahraga silat Asian Games 2018 di Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta, Rabu (29/8).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Wim Tohari Daniealdi, Staf Pengajar di FISIP Universitas Pasundan Bandung

Sejak dimulainya ajang Asian Games 18 Agustus 2018 lalu, negeri ini seketika menjadi gegap gempita oleh nuansa nasionalisme. Bagaimana tidak, setelah dimulai dengan upacara pembukaan yang begitu spektakuler, hari demi hari masyarakat disajikan berita tentang keberhasilan kontingen Indonesia menyabet medali dari berbagai cabang olahraga.

Hanya dalam kurun waktu 10 hari perhelatan Asia Games 2018 berlangsung, Indonesia sudah berhasil mengumpulkan 30 emas atau melampaui jumlah medali yang ditargetkan, serta berhasil menduduki posisi 4 klasemen sementara saat ini.

Bila dilihat dari jumlah raihan medali, inilah rekor terbanyak raihan Indonesia dalam event Asian Games. Namun, tidak sampai di situ, puncak kegembiraan seluruh bangsa justru terjadi pada 29 Agustus 2018 lalu, di Padepokan Pencak Silat TMII.

Ketika itu, atlet pencak silat peraih emas Hanifan Yudani Kusumah merayakan kemenangannya dengan berlari mengelilingi arena sambil mengibarkan bendera Merah Putih di pundaknya, lalu menunju podium VVIP.

Ia menyalami semua tokoh penting republik ini, mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wapres Jusuf Kalla, mantan presiden Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia Prabowo Subianto yang juga capres dalam Pilpres 2019.

Lalu terjadilah momen bersejarah itu. Secara spontan, Hanifan memeluk Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi secara bersamaan. Kamera menangkap momen ini secara artistik, di mana yang tampak pada akhirnya hanya wajah Prabowo dan Jokowi yang saling berpelukan dibalut oleh selubung Merah Putih.

Tak ayal, negeri ini menjadi gegap gempita oleh nuansa persatuan. Momen langka ini memanen pujian dari masyarakat di seluruh negeri.

Seketika ajang final pencak silat Asian Games 2018 tempo hari seolah menjelma menjadi “panggung nasionalisme” yang berhasil menarik seluruh emosi, kecintaan dan kebanggaan rakyat pada negeri tercinta ini. Satu hal yang nyaris tidak pernah lagi kita temui sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia.

Melihat apa yang terjadi tempo hari, agaknya kita perlu kembali merenungi arti kebersamaan kita di ruang geografis yang kaya ini. Sudah lebih dari empat tahun terakhir masyarakat terpecah belah ke dalam dua kelompok yang saling menghujat satu sama lain.

Bahkan, tidak sedikit yang mengkhawatirkan situasi tersebut bisa berujung pada disintegrasi nasional. Namun, menilai euforia dan sukacita masyarakat ketika melihat momen keakraban Prabowo dan Jokowi, agaknya kita perlu meninjau kembali perspektif kita tentang dinamika perseteruan dua kelompok di Indonesia selama ini.

Jangan-jangan, mereka bukan dua kelompok yang saling membenci dan saling menegasikan satu sama lain, melainkan mereka hanyalah dua kelompok yang sama-sama mencintai negerinya dengan cara yang berbeda.

Apakah bangsa itu? Pada awalnya, negara bangsa dibentuk berdasarkan indikator fisik, seperti ras, wilayah, dan rumpun kesukuan.

Namun, perspektif ini kemudian berubah setelah Ernest Renan dalam pidato yang disampaikan di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis, pada 11 Maret 1882, yang berjudul Qu’est ce qu’une Nations, (apakah bangsa itu?) menyampaikan, “Bangsa itu soal perasaan, soal kehendak semata-mata untuk hidup bersama yang timbul antara segolongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa lampau, terutama dalam penderitaan-penderitaan bersama.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement