Ahad 26 Aug 2018 21:40 WIB

Tawuran Bayaran di Pasar Rumput

Warga resah dengan rekayasa tawuran.

Rep: Muslim AR/ Red: Ani Nursalikah
Lokasi yang kerap dijadikan ajang tawuran di Manggarai, Jakarta Timur, Ahad (26/8).
Foto: Republika/Muslim AR
Lokasi yang kerap dijadikan ajang tawuran di Manggarai, Jakarta Timur, Ahad (26/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tawuran di kawasan Pasar Rumput, Jakarta Selatan belakangan menjadi sebuah modus baru dari pihak-pihak tertentu. Tawuran yang dahulunya memang murni dari warga, sejak 2010 sudah menjadi sebuah kamuflase bagi mafia-mafia tertentu, dari mafia narkotika hingga preman kampung yang meminta jatah “uang keamanan”.

Para peserta tawuran juga sudah bukan warga secara utuh, bahkan di antara pelaku tawuran dibayar oleh pihak tertentu untuk memulai kerusuhan. “Iya, saya kasih uang buat ikut ramein tawurannya, buat mulai lempar batunya,” kata seorang pemuda yang meminta namanya tidak disebut, Hendra (bukan nama sebenarnya) adalah seorang warga RW 10, Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat.

Hendra tak sendiri, dirinya memiliki grup-grup Whatsapp yang mengkoordinir massa tawuran. Tak jelas siapa saja anggota grupnya, bahkan menurut penuturan Hendra ada di antara mereka yang saling tidak kenal.

“Komunikasinya lewat WA, kapan mainnya (jadwal tawuran) dikabarin di sana, ada yang gue kenal, tapi banyak yang nggak kenal,” kata Hendra.

Setelah memicu dan melakukan pelemparan, biasanya Hendra akan mundur dan mempertahankan wilayahnya di dekat jembatan penghubung antara Jalan Menteng Tenggulung dengan Jalan Sultan Agung yang langsung berhadapan dengan Halte Transjakarta Pasar Rumput.

Hendra sehari-harinya bekerja serabutan, pemuda ini mengaku dibayar oleh orang yang tak dikenal. Ia dan teman-temannya mendapatkan uang dalam jumlah yang tak tentu dengan pemberian yang juga tak menentu.

“Kadang nggak tawuran tetap dikasih uang, semua dapat, gue dapat dari abang-abangan gue,” kata Hendra sembari menyembunyikan identitas abang-abangan atau ketua yang dia maksud.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua RW 10, Menteng Tenggulun, Sulaeman. Ia yang merupakan ketua RT sebelumnya sudah mengamati sejak lama, tawuran yang terus terjadi di wilayahnya bukanlah tawuran biasa lagi.

Bukan serupa tawuran-tawuran pada 2010 ke bawah. Sejak 2010 hingga 2018, tawuran sudah bukan lagi dilakukan warganya, namun karena lokasi tawuran berdekatan dengan pemukiman, mau tak mau warga harus mempertahankan wilayahnya dari kerusuhan yang ditimbulkan oleh tawuran.

“Kalau 2010 ke bawah, itu memang tawuran antarwarga, jelas pemicunya, jelas pelakunya, jelas duduk persoalannya, meskipun cara penyelesainnya dengan tawuran,” kata Sulaeman pada Republika.co.id, Ahad (26/8).

Sulaeman tak menampik, hingga tawuran terakhir pada Kamis (23/8) lalu warganya terlibat. Namun keterlibatan warganya bukanlah sebagai pemicu tawuran atau bahkan massa tawuran, namun lebih pada mempertahankan wilayah pemukiman.

“Kami bahkan nggak kenal itu siapa yang tawuran, tiba-tiba ramai dan dipastikan itu bukan warga sini, bahkan bukan warga Pasar Rumput,” kata Sulaeman.

Sulaeman memastikan kalau para pelaku tawuran bukanlah semuanya warga Pasar Rumput dari koordinasinya dengan ketua RW di lingkungan Pasar Rumput. Dia bahkan sudah menyerahkan hasil temuannya pada pihak yang berwajib. Menurut Sulaeman, tak hanya satu dua orang yang mengaku dibayar untuk melakukan tawuran. Beberapa warganya sudah ditanyai dan mengaku soal adanya grup-grup Whatsapp yang berisikan komando tawuran.

“Sudah kami serahkan ke pihak penyidik, sudah kami serahkan ke polisi, memang ada grup-grup Whatsapp tempat mereka berkoordinasi untuk melakukan tawuran,” jelas Sulaeman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement