Jumat 24 Aug 2018 03:14 WIB

Didesak Status Bencana Nasional NTB, Jokowi Terbitkan Inpres

Inpres menjadi payung hukum penanganan bencana gempa Lombok.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Gubernur NTB TGB Zainul Majdi dan sejumlah menteri meninjau lokasi pengungsian di Lombok Utara, pada Senin (13/8) dan Selasa (14/8).
Foto: Humas Pemprov NTB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Gubernur NTB TGB Zainul Majdi dan sejumlah menteri meninjau lokasi pengungsian di Lombok Utara, pada Senin (13/8) dan Selasa (14/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan sudah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) mengenai penanganan dampak gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Inpres ini diterbitkan pada saat gelombang desakan ditetapkannya status bencana nasional di NTB.

"Inpres sudah," kata Presiden Jokowi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Kamis (23/8).

Menurut Jokowi, dengan adanya Inpres itu maka pihak-pihak yang melakukan penanganan di lapangan sudah memiliki payung hukum. "Itu berarti yang ada di lapangan, kementerian atau lembaga itu memiliki payung untuk pelaksanaan di lapangan," kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Presiden mengatakan, yang penting saat ini adalah bahwa penanganan dampak gempa di Lombok sudah dilakukan secara nasional. Di mana, pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

"Memang ini kita masih pada tahapan-tahapan, terutama yang berkaitan dengan penyampaian bantuan untuk perbaikan rumah yang rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan, masih dalam proses administrasi secara besar-besaran," kata Presiden.

Ia berharap masyarakat bisa segera memperbaiki rumahnya kembali dan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat di sana mulai bergerak kembali. "Tapi kita juga harus ingat bahwa masih ada gempa-gempa susulan yang terjadi, seperti tadi malam juga masih terjadi gempa susulan yang cukup besar," katanya.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan, inti dari inpres itu adalah penanganan bencana Lombok sepenuhnya sudah seperti bencana nasional. Sehingga tidak perlu lagi pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional.

"Kenapa tidak jadi bencana nasional, kalau bencana nasional maka orang asing itu bisa masuk seenaknya, dan kita masih mampu menangani sendiri, bangsa ini masih mampu untuk menyelesaikan persoalan gempa Lombok itu sendiri," katanya.

Ia menyebutkan jika Rabu (22/8) kemarin Wapres Jusuf Kalla yang berangkat ke Lombok, setelah sebelumnya Presiden Jokowi sendiri, maka pada Kamis malam ini Panglima TNI dan Kapolri akan berangkat dan memimpin langsung koordinasi di lapangan.

"Artinya pemerintah pusat begitu menaruh harapan besar. Nah substansi dasar dari Inpres itu adalah memerintahkan kepada Menteri PUPR sebagai koordinator, dibantu TNI/Polri, dan tentunya BNPB untuk segera merehabilitasi, melakukan normalisasi terhadap fasilitas fasilitas utama yang mengalami kerusakan," katanya.

Mengenai besaran anggaran untuk penanganan dampak gempa itu, Pramono mengatakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diberi kewenangan oleh Presiden untuk menutupi kebutuhan itu. Ia menyebutkan alokasi anggaran Rp 4 triliun bisa bertambah sesuai kebutuhan.

"Jadi tidak benar kalau anggarannya Rp 38 miliar, anggarannya Rp 4 triliun lebih untuk mengganti rumah yang rusak saja, berapapun rumah itu, dibagi menjadi tiga klasifikasi, berat, sedang, ringan, masing masing Rp 50 juta, Rp 25 juta, Rp 10 juta, itu saja angkanya sudah besar sekali," katanya.

Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) Penanganan Darurat Bencana (PDB) gempa NTB, Kolonel Czi Ahmad Rizal Ramdhani, menyampaikan, jumlah korban meninggal dunia akibat gempa di Lombok dan Sumbawa per Kamis (23/8) mencapai 555 orang. Jumlah pengungsi akibat gempa sebanyak 402.529 orang.

"Kerusakan infrastruktur meliputi 76.765 unit rumah, 1.229 fasilitias umum, dan jumlah pengungsi sebanyak 402.529 orang yang tersebar di seluruh Pulau Lombok dan Sumbawa," ujar Rizal.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement