REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak mudah menjadi penyandang disabilitas. Tak jarang mereka seringkali menjadi korban diskriminasi dalam segala bidang mulai dari pekerjaan, aksesibilitas, bahkan pendidikan.
Terlahir normal dari pasangan Sriyuwati dan Ridwan, Tutus Setiawan (38) harus kehilangan penglihatan saat berusia 8 tahun. Hal ini berawal dari kecelakaan ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Dirinya membentur tembok hingga terjadi pendarahan di saraf bola mata. Tutus tidak mengalami sakit ketika dirinya terbentur, hanya mengalami sakit kepala hingga akhirnya dirinya merasa penglihatannya semakin buram. Tutus pun menjalani 3 kali operasi untuk mengembalikan penglihatannya. Akhirnya, dia divonis hilang penglihatan (kebutaan) oleh dokter di salah satu rumah sakit di Surabaya.
Namun ia bertekad tidak menjadikan kekurangan ini sebagai hambatan untuk terus belajar. Dengan penuh semangat, Tutus melanjutkan sekolahnya sampai ke tingkat menengah pertama di SLB YPAB Surabaya. Lulus dari SLB YPAB, ia mencoba keluar dari zona nyamannya dengan bersekolah di SMA reguler.
Latihan kemampuan dasar yang dilakukan Tutus melalui Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) yang didirikannya dalam rangka meningkatkan kemampuan para tunanetra dalam pendidikan dan pelatihan, riset, serta advokasi.
Awal bersekolah di SMA Kemala Bayangkari II, Tutus sempat mengalami kesulitan dalam beradaptasi. Ia menyadari sifatnya yang pendiam membuatnya hanya memiliki satu teman yang merupakan pengidap epilepsi. Hal ini menjadi titik balik seorang Tutus Setiawan.
Ia merasa harus memperbaiki diri untuk dapat bergaul dengan teman-teman satu sekolahnya. Perlahan Tutus mulai berani masuk ke tongkrongan anak-anak di sekolahnya. Bahkan, dirinya pernah dipanggil guru BP karena berusaha mengikuti kenakalan teman-teman satu tongkrongannya.
“Pada dasarnya kesuksesan seorang tunanetra bukan tergantung dari kepandaiannya, tapi justru dari kemampuan dalam berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Karena sepintar apa pun, jika ia tidak bisa berkomunikasi baik dengan orang di sekitarnya, ia akan kehilangan dukungan untuk terus menjalani hidup,” ujar ayah dua anak ini.
Sampai akhirnya ia memiliki banyak teman yang kerap memberi dukungan, membuatnya kembali mendapatkan kepercayaan diri. Kepercayaan diri inilah yang kemudian membuat Tutus banyak mengantongi segudang prestasi. Mulai dari mendapatkan peringkat 3 besar di sekolah, sampai menjadi salah satu penerima beasiswa.
Lulus SMA, Tutus berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke Universitas Negeri Surabaya (UNNESA) hingga S2. Beruntung Tutus memiliki orangtua yang sangat supportif.
Meskipun memiliki kondisi fisik yang berbeda, Tutus tetap mengikuti ujian masuk seperti calon mahasiswa lainnya. Bahkan saat di perguruan tinggi, Tutus selalu mengirimkan buku bacaan yang didapatnya untuk kemudian dibacakan oleh orangtua Tutus.
Memiliki pendidikan yang tinggi tidak membuat Tutus lepas dari diskriminasi. “Ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh tidak punya penglihatan,” komentar salah seorang tetangga Tutus.
Nada diskriminatif yang sering diterima Tutus Setiawan justru dijadikan motivasi lebih untuk melawan stigma negatif yang ditujukan kepada tunanetra. Dirinya beranggapan bahwa tunanetra perlu berhenti tampil di masyarakat sebagai sosok yang tidak berdaya.
Pengalaman diskriminasi yang ia rasakan, menyadarkannya untuk segera bangkit memperjuangkan haknya sebagai penyandang tunanetra. Tahun 2003, Tutus bersama 5 orang temannya sesama penyandang tunanetra, berjuang keras mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT).
LPT merupakan sebuah LSM yang menempatkan diri mereka sebagai fasilitator bagi para penyandang disabilitas khususnya tunanetra. Ada 3 program utama yang diusung oleh LPT yaitu pendidikan dan pelatihan, riset, serta advokasi.
Memberikan bimbingan belajar dan pelatihan-pelatihan seperti komputer bicara, jurnalistik, operator telepon, dan presenter tunanetra dilakukan sebagai sarana untuk meningkatkan kapasitas diri tunanetra.
Program kedua yang diangkat ialah riset. Tujuannya untuk mengkaji sarana dan prasarana bagi para penyandang disabilitas yang nantinya akan menjadi masukan ke pemerintah. Program ketiga ialah advokasi yang merupakan program pendampingan bagi penyandang tunanetra untuk dapat meraih hak mereka dalam pendidikan.
Mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra bukanlah hal yang mudah. Sebab, Tutus bersama teman-teman lainnya secara sukarela mengumpulkan uang pribadi mereka untuk bisa mendirikan lembaga yang bisa memberdayakan para penyandang tunanetra. Hingga saat ini, LPT mendapatkan dukungan dana dari Instansi Pemerintah, Instansi Swasta, bahkan LSM dari luar negeri.
Berkat kontribusi Tutus Setiawan dalam bidang pendidikan serta pelayanan terhadap disabilitas melalui program pemberdayaan yang diusung Tutus bersama teman-temannya dalam Lembaga Pemberdayaan Tunanetra, PT Astra International Tbk melalui SATU Indonesia Awards memberikan penghargaan kepada Tutus Setiawan pada 2015.
Astra melihat kontribusi Tutus Setiawan sebagai hal yang inspiratif dan patut diberi apresiasi besar, karena berkat kepedulian terhadap sesama tunanetra, Tutus berhasil memfasilitisasi tunanetra sehingga dapat merasakan kesetaraan dalam bidang pendidikan dan menunjukan bahwa tunanetra bukanlah orang yang tidak berdaya tetapi dapat berprestasi dalam membangun bangsa.