REPUBLIKA.CO.ID, Muhammad Asyura harus bangun lebih pagi untuk menghindari antrean mandi. Pemuda 26 tahun itu memiliki tanggung jawab mempersiapkan perlengkapan untuk menggelar shalat Idul Adha.
Sejak pukul 03.00 Wita, ia sudah siap siaga. Mengenakan kaos dan sarung, dia bahu-membahu mengangkat dan merapikan terpal untuk alas bagi para jamaah.
"Sudah menjadi kewajiban bagi kami para pemuda setiap tahunnya untuk menyiapkan shalat Idul Adha maupun Idul Fitri untuk warga," ujarnya saat ditemui Republika.co.id di Dusun Kekait, Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (22/8). Namun tak seperti tahun-tahun sebelumnya, prosesi shalat Idul Adha tahun ini digelar di tanah lapang di area pengungsian di Dusun Kekait.
Asyura hanyalah satu dari 1.400 warga Desa Kekait yang sudah sekira tiga pekan tinggal di pos pengungsian ini. Keterbatasan sarana MCK, membuat ia memilih bangun lebih dahulu daripada yang lain. Para pemuda yang dibantu relawan berhasil menyulap areal pengungsian sebagai masjid darurat. Tenda besar milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disulap sebagai mimbar bagi imam dan khatib. Sementara terpal dibentangkan secara luas agar mampu menampung ribuan jamaah.
Sejumlah warga bersiap untuk melaksanakan ibadah shalat ied di Posko Pengungsian, Desa Kekait, Desa Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (22/8).
Bencana gempa menjadi alasan mengapa warga menggelar shalat Id di areal pengungsian. Sekira 90 persen rumah warga Kekait, termasuk masjid yang ada porak-poranda akibat gempa.
"Alhamdulillah semua lancar walaupun tidak shalat di masjid, yang penting bersyukur masih bisa menjalankan shalat Id dengan gembira walau rumah runtuh semua," ucap dia.
Asyura memang tak henti-hentinya bersyukur meski rumahnya sudah tak lagi layak untuk ditinggali. Saat gempa menyapa, ia sedang berada di rumah tetangga. Sedangkan, anak dan istrinya sedang berada di dalam rumah. Istri dan anaknya selamat meski rumahnya tak dapat ditinggali lagi.
Sebagai tulang punggung keluarga, ia mencemaskan masa depannya. Akibat gempa, ia terpaksa harus berhenti bekerja sebagai seorang penjaga keamanan di sebuah hotel di kawasan Senggigi.
Rasa haru pun tampak keluar dari raut wajah Muhammad Muazir. Guru Madrasah Aliyah At Tahzib, Kekait, itu merasa masih tak menyangka harus merayakan Idul Adha di tenda pengungsian.
"Belum terbiasa, sedih, tapi Alhamdulillah masih bisa shalat," ungkap Muazir.
Rumah Muazir juga rusak, pun dengan madrasah tempat dia mengajar serta masjid yang biasa ia dan keluarga gunakan saat shalat Id.
Sejumlah warga melaksanakan ibadah shalat ied di Posko Pengungsian, Desa Kekait, Desa Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (22/8).
Pengalaman serupa diungkapkan Saadudin (52). Ia dan keluarga tinggal di tenda pengungsian. Kondisi saat ini, dia katakan, sudah jauh relatif lebih baik dibanding saat masa-masa awal pascagempa.
"Pas awal-awal itu satu tenda untuk lima sampai enam kepala keluarga, sekarang alhamdulillah di tenda cuma satu kepala keluarga," kata Saadudin.
Dia mengaku tak sempat menyelamatkan barang saat gempa karena terjadi begitu cepat. Baginya, harta benda yang bukan menjadi fokus utama, melainkan keselamatan istri dan anak-anaknya.
Prosesi shalat Id sendiri berlangsung khidmat. Meski dalam suasana duka, khatib shalat Id mengajak seluruh warga untuk tetap bersyukur. "Meski dalam suasana sedih dan duka mendalam akibat gempa, mari tetap bersyukur atas nikmat terutama nikmat iman dan Islam dalam nuansa gema takbir mengagungkan asma Allah SWT," ujar sang khatib saat mengawali khotbahnya.
Pantauan Republika.co.id, suasana haru begitu terasa. Jamaah tampak khidmat menyimak kata per kata yang terucap dari mulut khotib.
Tak ada perayaan berlebih selepas shalat ied. Isak tangis tak kuasa lepas usai prosesi shalat selesai. Para jamaah terlihat menangis saat berpelukan sambil saling menguatkan dan berharap musibah segera berlalu.
Populasi pendudik Desa Kekait tercatat 7.850 jiwa dari 2.590 kepala keluarga. Hampir seluruhnya mengungsi karena dampak gempa lantaran sekira 90 persen rumah warga di desa ini mengalami kerusakan.
Sejumlah warga membungkus daging sapi yang telah dikurbankan di Posko Pengungsian Desa Kekait, Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (22/8).
Tanah lapang di Dusun Kekait menjadi posko induk pengungsi terbanyak dengan 1.400 jiwa. Sedangkan warga lain menyebar di 40 titik pengungsian yang ada di Desa Kekait. Selain rumah rusak, tujuh masjid yang ada di desa ini juga mengalami kerusakan sehingga tak lagi layak untuk digunakan beribadah.
Di tengah kepedihan, Muhammad Zaini tampil untuk membangkitkan asa para jamaah. Kepala Desa Kekait itu mengajak warga tidak menyebut lokasi mereka sebagai tenda pengungsian melainkan tenda perkemahan sementara.
"Kita tentu tak ingin berlama-lama di tenda ini," kata Zaini.
Kondisi 'tenda perkemahan' kian membaik dibanding pada sepekan pascabencana. Sebelumnya, satu tenda ditempati 30 jiwa dari delapan kepala keluarga. Kini, satu tenda untuk satu kepala keluarga.
Percepatan pemulihan tak lepas dari dukungan pemerintah, swasta, dan lembaga kemanusiaan. Selain itu, faktor relawan dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berada di Kekait hingga kini menjadi alasan utama mengapa proses pemulihan bisa berjalan maksimal. Zaini menilai, pendampingan yang dilakukan relawan dari DIY sangat berperan penting lantaran mereka memiliki pengalaman yang luar biasa kala menghadapi bencana gempa dan erupsi Gunung Merapi.
Bersama warga, para relawan mulai membangun tenda sementara (tentara) dengan memanfaatkan bambu, terpal, dan bahan kayu. Ia tak memungkiri banyak kearifan lokal yang mulai ditinggalkan warga menjadi salah satu faktor utama masifnya kerusakan bangunan.