Kamis 16 Aug 2018 19:14 WIB

KPU: 3 Eks Koruptor Diloloskan Jadi Bacaleg oleh Bawaslu

KPU meminta menunda pelaksanaan putusan itu hingga ada putusan MA.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (23/7). KPU meminta parpol segera mempersiapkan pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2019, yang segera dibuka pada 4 Agustus mendatang.
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (23/7). KPU meminta parpol segera mempersiapkan pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2019, yang segera dibuka pada 4 Agustus mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengaku kecewa atas tindakan Bawaslu dan Panwaslu di tiga daerah yang memutuskan untuk mengabulkan sengketa pendaftaran bakal caleg yang diajukan oleh para mantan narapidana kasus korupsi. Tiga putusan di daerah itu memerintahkan KPU daerah untuk menyatakan status pendaftaran para mantan narapidana korupsi yang sebelumnya tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi memenuhi syarat (MS). 

Tiga putusan itu masing-masing dikeluarkan oleh Panwaslih Aceh, Panwaslu Tana Toraja, dan Bawaslu Sulawesi Utara. Di tiga daerah tersebut, sebelumnya ada mantan narapidana korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPD dan caleg DPRD. 

Namun, KPU setempat menyatakan pendaftaran tiga bakal caleg itu TMS. Setelahnya, ketiga kandidat mengajukan sengketa atas status tersebut sehingga keluarlah masing-masing putusan yang menyatakan pendaftaran ketiganya MS. 

Wahyu mengatakan dokumen terkait putusan di tiga daerah itu sama sekali tidak menyebut PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD maupun PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. "Hal tersebut menunjukkan Bawaslu dan Panwaslu di daerah mengabaikan adanya PKPU yang sudah sah dan masih berlaku," ujar Wahyu kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (16/8).

Wahyu merujuk kepada larangan mantan narapidana kaasus korupsi menjadi caleg yang tercantum dalam PKPU Nomor 14 maupun PKPU Nomor 20. Dia menegaskan kedua PKPU itu telah diakui oleh negara dan sampai saat ini masih berlaku. 

Artinya, ia mengatakan, posisi aturan itu mengikat semua pihak, baik penyelenggara maupun peserta pemilu. "Mereka meliputi KPU, Bawaslu dan DKPP. Mestinya Bawaslu menghormati aturan KPU yang sah dan mengikat itu," kata Wahyu. 

Dengan adanya putusan Bawaslu dan panwaslu daerah tersebut, kata Wahyu, KPU sudah meminta agar ada koreksi. Permintaan itu sudah disampaikan dalam surat resmi KPU pusat kepada Bawaslu pusat. 

"Kami meminta menunda pelaksanaan putusan di daerah itu. Kenapa mesti ditunda? Sebab KPU di tiga daerah sudah melaksanakan tugasnya sebagaimana PKPU Nomor 14 maupun PKPU Nomor 20," tutur Wahyu.

Menurutnya, penundaan itu harus dilakukan sampai ada putusan dari Mahkamah Agung (MA) atas pengujian terhadap PKPU Nomor 14 maupun PKPU Nomor 20. Jika nantinya ada putusan MA yang menyatakan bahwa kedua PKPU itu tidak berlaku maka putusan di tiga daerah baru dapat diberlakukan. 

Dalam PKPU No 20 tahun 2018, mantan pelaku kejahatan seksual kepada anak dilarang menjadi caleg DPRD, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Larangan itu diatur dalam Pasal 4 Ayat 3 Bab II Bagian Kesatu tentang Umum. 

Bunyi pasal itu, yakni "Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), [partai politik] tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi." Aturan serupa juga ada dalam PKPU Nomor 2014. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement