REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) menuturkan perselingkuhan dan pelecehan menjadi satu di antara berbagai kasus yang disidangkan Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Total, sejak sidang MKH digelar KY dan Mahkamah Agung pertama kali pada 2009 sampai sekarang, kasus tersebut berjumlah 17 perkara atau 34,7 persen.
"Perselingkuhan-pelecehan juga termasuk yang banyak disidangkan dalam MKH, yaitu 17 perkara (34,7 persen)," kata dia dalam keterangan pers, Rabu (15/8).
Farid menjelaskan, tren kasus pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam sidang MKH 2009 sampai 2012, memang kebanyakan kasus penyuapan. Namun, 2013 sampai 2017, tren kasus pelanggaran KEPPH bergeser signifikan kepada kasus perselingkuhan.
Hal itu, lanjut Farid, menunjukkan terjadinya pergeseran pilihan nilai-nilai oleh hakim. Semula dari nilai-nilai ideal atau objektif hukum ke nilai-nilai pragmatik atau subjektif yang dipentingkan oleh seorang hakim dalam penanganan suatu perkara.
"Artinya penanganan suatu perkara dapat menjadi sumber komoditi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, baik politik maupun ekonomi. Perilaku seorang hakim yang bertentangan dengan kode etik, tidak terlepas dari faktor budaya hukum dan sistem nilai yang dianut," ujar Farid.
Menanggapi kasus itu, Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengakui ada hakim yang dilaporkan melakukan pelanggaran karena selingkuh dengan sesama hakim lainnya. "Ada hakim yang selingkuh, selingkuh ini ada yang dengan hakim juga, ada juga yang di luar hakim," papar Jaja.
Meski begitu, Farid kembali menjelaskan, dari 2009 sampai saat ini, kasus suap dan gratifikasi tetap mendominasi. Dari 49 sidang MKH, ada 22 laporan terkait praktik suap dan gratifikasi, yaitu sekitar 44,9 persen. "Praktik suap dan isu jual-beli perkara ini selalu menghiasi sidang MKH tiap tahunnya," kata dia.
Kasus lainnya yang disidangkan di MKH, antara lain: bersikap indisipliner (5 laporan), mengonsumsi narkoba (3 laporan), memanipulasi putusan kasasi (1 laporan), dan pemalsuan dokumen (1 laporan). Sebanyak 31 orang hakim telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap. Total, sidang MKH dari 2009 sampai 2017 telah membuat 49 hakim menerima sanksi.
Menurut Farid, ragam masalah berkaitan dengan pelanggaran kode etik perlu diurai dengan membenahi secara terus-menerus proses pengangkatan atau rekrutmen yang benar-benar mempunyai kualitas untuk menjawab kebutuhan. Hakim harus profesional, bermoral dan berintegritas tinggi.
Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi mengatakan pencopotan merupakan sanksi berat terhadap hakim yang melanggar kode etik dan peraturan bersama MA, Komisi Yudisial.
"Itu risikonya, karena perselingkuhan itu kan perbuatan tercela baik terhadap masyarakat maupun agama," kata Suhadi.
Menurut Suhadi, para hakim yang berselingkuh tidak belajar dari kasus-kasus pemecatan terdahulu. Para hakim yang melakukan tindak serupa tidak bercermin pada kasus sebelumnya.
"Ya saya kira kurang iman, tergoda dengan lawan jenis yang lain. Padahal pembinaan terus dilakukan, yang terdahulu sudah banyak dipecat, jadi terlalu lemah imannya," ujar dia.