REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) dibuat heboh dua hari belakangan oleh isu terorisme. Setelah penangkapan lima orang terduga teroris di sejumlah titik di Sumbar pada Senin (13/8) lalu, muncul komentar pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, di halaman depan sebuah koran terbitan Padang, Harian Haluan.
Dalam berita yang terbit Selasa (14/8) kemarin, Chaidar menyebut bahwa jaringan terorisme di Sumatra Barat berkembang hingga mencakup 3.000 anggota, dengan basis pelatihan tersebar di Bukittinggi dan beberapa titik lain. Reaksi keras pun bermunculan dari sejumlah pihak, terutama Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat. Kedua organisasi keagamaan tersebut menentang keras anggapan bahwa Sumbar menjadi 'tempat kelahiran' ribuan teroris.
Lantas dari mana asal data yang diungkap Chaidar tersebut?
Republika.co.id mengonfirmasi hal itu kepada Al Chaidar. Ia menjelaskan, seluruh data yang disampaikan merupakan data yang pihaknya kumpulkan melalui kajian resmi di kampus Universitas Malikussaleh, Aceh. Pengambilan datanya, ujar Chaidar, dilakukan dari penelitian di lapangan dan data-data sekunder dari internet dan korespondensi surat elektronik dengan sejumlah sumber.
"Itu database penelitian kami, penelitian reguler yang sifatnya database. Setiap ada kesempatan saya update data, karena di berbagai tempat," kata Chaidar, Rabu (15/8).
Chaidar menyebutkan, sebanyak 3.000 anggota teroris tersebut berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansahrut Khilafah (JAK). Kajian yang dilakukan Chaidar juga memasukkan orang-orang seperti keluarga dari anggota ke dalam 'angka 3.000' tadi. Dari angka sebanyak itu, kelompok-kelompok terorisme di Sumbar justru dilatih oleh oknum dari dalam daerah sendiri.
"Sebarannya di Bukittinggi, Payakumbuh, dan beberapa tempat lain. Batusangkar juga ada. Dengan tempat latihan ada di Bukittinggi dan Mentawai," kata Chaidar.
Terkait pola penyebaran paham terorisme di Sumbar pun, Chaidar menyebut sulit terdeteksi. Ia mengatakan, ada anggota teroris yang memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi dan menyebarkan pahamnya. Tak hanya via media sosial, penyebaran paham terorisme juga lebih banyak dilakukan secara langsung, melalui komunikasi dua arah.
"Kalau di Surabaya itu keluarga-keluarga itu bertemu langsung. Jadi tidak melalui whatsapp, atau medsos. Tidak melalui telpon bahkan," kata Chaidar.
Terkait respons keras yang bermunculan setelah komentarnya di sebuah koran, Chaidar justru menyebutkan bahwa angka '3.000' terbilang moderat dibanding provinsi lain di Indonesia. Ia mengatakan daerah-daerah lain justru memiliki jumlah anggota jaringan teroris yang lebih banyak. Jawa Barat misalnya, diperkirakan memiliki 3.000 anggota jaringan teroris. Sementara, Jawa Timur angkanya lebih tinggi yakni 5.000-an orang.
#Kota Padang Jadi Sasaran
Chaidar mengingatkan, penangkapan lima orang terduga teroris di Sumbar di awal pekan ini hanya sebagian kecil potensi yang ada. Meski begitu, ia belum benar-benar yakin apakah kelima orang yang ditangkap kemarin terlibat jaringan terorisme atau tidak.
"Tapi Sumbar ini sasaran juga. Di Padang juga. Dulu yang saya dengar itu (target) mereka 17-an ya. Namun target mereka polisi. Terus Natalan dan tahun baru," kata Chaidar menyampaikan analisisnya.
Chaidar berharap tanggapan soal isu terorisme di Sumbar itu dijadikan bahan instrospeksi bagi Pemerintah Daerah dalam menyiapkan langkah preventif. Ia mengingatkan, terorisme bisa masuk ke aspek manapun dan menyasar agama apapun.
"Pemda ini harus serius. Minimal mereka harus melakukan survei tentang hal itu dan kami siap membantu. Kemudian dia kan harus mencari formulasi bekerja sama dengan MUI Sumbar," katanya.
Sebelumnya, FPI Sumbar meminta kepolisian menindaklanjuti omongan Chaidar terkait 'angka 3.000' teroris di Sumbar. Imam FPI Sumbar, Muhammad Busra Al Khalidy, meminta Chaidar membuktikan perkataannya yang menyebutkan Bukittinggi sebagai tempat latihan teroris.
"Kita desak pihak kepolisian usut tuntas hal ini sesuai hukum yang berlaku. Jika ternyata omongan Al Chaidar bohong, ia wajib dihukum karena telah membuat keresahan dan menyebar kabar bohong," katanya.
Respons senada juga disampaikan Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar. Ia meminta Chaidar bisa mempertanggungjawabkan perkataannya yang dianggap bernada tuduhan.
"Kita sepakat menolak terorisme tapi menuduh suatu daerah dengan pernyataan seperti itu, jelas sekali bukannya membuat masyarakat paham dengan bahaya terorisme tapi malah menimbulkan kegelisahan dan terasa pelecehan," tulis Buya Gusrizal dalam akun media sosialnya.