Kisah pendaulatan presiden secara aklamasi juga terjadi saat usai konferensi Meja Bundar Den Haag tahun menjelang 1950. Kala itu Sukarno akan kembali ke Jakarta dari Jogjakarta seusai pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia. Sukarno kemudian berubah status menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari banyak negara bagian. Kemudian jabatan Sukarno sebagai Presideden RI secara aklamasi (lagi-lagi tak ada kampanye atau pemilu) di serahkan ke MR Assaat.
Hal yang sama ini juga ketika Jogjakarta diduduki dan semua tokoh penting di tangkap Belanda pada awal agresi Belanda II. Kala itu kekuasaan Sukaro di serahkan kepada Syafruddin Prawiranegara yang tengah berada di pedalaman Sumatra Barat. Hebatnya lagi, pelimpahan kekuasaan itu diserahkan melalui telegram dan itu pun sampai tangan Syafruddin dalam jangka watu beberapa hari kemudian.
Jadi sangat benar, bila sila keempat Pancasila itu sudah dijalankan dengan 'musyawarah-perwakilan' oleh para pendiri bangsa. Adanya sikap Bung Karno yang enggan berdemokrasi ala barat, Bung Hatta yang bersikap memilh demokratis yang menjamin hak warga negara ala kaum sosialis, atau gaya Ki Bagus Hadikusimo dan M Natsir yang menginginkan konstitusi harus bernapaskan ajaran Islam, semua sudah dituntaskan melalui jalan musyawarah.
Kala itu ada pun sudah ada pemikiran untuk menyelenggarakan pemilu yang pasti didalamnya akan ada ajang kampanye. Namun itu baru dilaksanakan ketika keadaan negara sudah tak genting. Atau dengan kata lain, pemilu kala itu bukan suatu hal harga mati atau mutlak! Dan ini terbukti pemilu baru dilasanakan setelah 10 tahun pasca proklamasi kemerdekaan dan kondisi negara sudah semakin mapan.
Namun entahlah, apakah kearifan dari para bapak bangsa masih tersisa hari ini?