Ahad 12 Aug 2018 21:02 WIB

Kekerasan Seksual di Cirebon Masih Tinggi

Korban kekerasan seksual masih enggan melapor ke penegak hukum.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Nur Aini
Kekerasan terhadap perempuan. (ilustrasi)
Foto: www.jawaban.com
Kekerasan terhadap perempuan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan seksual, di Cirebon, masih tinggi. Akan tetapi, hanya sedikit korban yang bersedia melaporkannya kepada aparat penegak hukum.

Manager Program Women Crisis Center (WCC) Mawar Balqis, Sa’adah, menyebutkan, sejak awal  tahun ini sampai Juli 2018, lembaganya sudah menerima pengaduan sebanyak 48 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari jumlah itu, sebanyak 32 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual.

"Tapi dari semua pengaduan itu, hanya sekitar dua persen saja yang korbannya bersedia menempuh jalur hukum,’’ kata Sa’adah, usai diskusi mengenai “Fenomena Kekerasan Seksual dan Perjalanan Advokasi RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual” di salah satu cafe di kawasan Bima Kota Cirebon, akhir pekan kemarin.

Menurut Sa’adah, minimnya pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu terkendala pada bukti. Selain itu, sebagian besar korban pun tidak berani melapor karena menganggap kasus itu sebagai aib. Alasan lainnya, keterbatasan ekonomi korban maupun adanya tekanan pelaku. "Memang pelakunya sebagian besar orang terdekat dengan korban,’’ kata Sa’adah.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, pengurus LBH Apik Jakarta, Veni Siregar, mendesak agar DPR RI lebih progresif dalam melakukan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pasalnya, kasus kekerasan seksual semakin mengkhawatirkan. Selain itu, jumlah korbannya pun semakin banyak.

‘’Belakangan bahkan ada korban perkosaan sampai dipidana. Ini menunjukkan bahwa pemahaman aparat penegak hukum, serta regulasi yang ada juga masih lemah dalam melindungi korban,’’ kata Veni.

Veni mengatakan, korban kekerasan seksual selama ini juga belum mendapatkan pelayanan yang komprehensif. Seperti misalnya dalam hal pembiayaan pemulihan korban, yang hingga kini belum ditanggung pemerintah. Korban masih harus mengupayakan sendiri biaya pemulihannya.

Ia mengakui, sejauh ini sudah ada beberapa UU yang bisa digunakan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Aturan itu di antaranya, UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Perlindungan Anak, sampai UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Namun, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan. Karena di dalamnya mengatur juga tentang penanganan sampai pemulihan korban. ‘’Kami berharap RUU ini mengatur secara komprehensif sampai penanganan hingga pemulihan kepada para korban,’’ ujar Veni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement