REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deklarasi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Kamis (9/8) sore hingga malam menyisakan drama elegi bagi dua kubu. Nama nama yang digadang-gadang sempat menjadi cawapres dari dua kandidat capres Jokowi dan Prabowo meleset di jam terakhir penetapan cawapres antar parpol koalisi.
Di kubu Jokowi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, terpaksa merasakan harapan palsu setelah mayoritas parpol koalisi menolaknya. Sedangkan di kubu Prabowo, partai Demokrat dan GNPF juga merasakan kekecewaan yang sama dengan diabaikannya nama AHY dan hasil ijtima ulama.
Baca juga, Prabowo Pinang Sandiaga Jadi Cawapres di Depan Anies.
Pengamat Politik, UIN Jakarta Gun Gun Heryanto mengatakan, dalam perjalanan kandidasi pemilu seringkali menyisakan drama elegi. Kandidasi di injury time itu, lanjut dia, cenderung menyisakan elegi karena pola hubungan parpol di Indonesia itu higly fragmented multi party system (kekuatan multi partai yang sangat terfrgamentasi).
Hal itu memungkinkan pola hubungan koalisi bersifat cair, dan akan sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat dinamis yang mungkin tidak terprediksi dari awal, selain kekuatan figur.
"Apa itu di antaranya biaya masuk gelanggang (pilpres) itu kerap tidak teraba di panggung depan. Selanjutnya adalah keuntungan dalam kekuasaan, politik akomodasinya bersifat elite demi melanggengkan kekuasaan," kata Gun Gun kepada wartawan Republika.co.id, Jumat (10/8).
Baca juga, Jokowi Gandeng Ma'ruf Amin Demi Kebinekaan.
Seperti misalnya, kata ia, mengapa cawapres Prabowo yang muncul adalah Sandiaga Uno, bukan Salim Segaf, Zulkifli Hasan atau AHY. PKS yang sedari awal berkeras dengan kadernya di cawapres Prabowo akhirnya rela menerima Sandiaga Uno.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) didampingi Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno ( kanan) berpegangan tangan bersama seusai mendeklarasikan calon presiden dan calon wakil presiden di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8) malam. Pada deklarasi tersebut Prabowo dan Sandiaga Uno resmi maju mencalonkan diri sebagai pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2019.
Kemudian, kata dia, fenomena Mahfud MD, yang diberi harapan palsu oleh Jokowi, yang akhirnya memilih KH. Ma'ruf Amin. Pilihan ke Kiai Ma'ruf ini bukanlah hal yang mengejutkan. Sebab, jelas Gun Gun dari awal Jokowi bisa dipastikan tidak akan mengambil orang partai sebagai cawapres.
Ini demi menurunkan ego sektoral dari masing-masing parpol koalisi. Pilihan ke Kiai Ma'ruf demi menjaga kompetisi politik di 2024. Penjegalan Mahfud juga pernah ia alami di 2014 ketika tiket cawapres yang dicabut oleh PKB. Saat itu Mahfud ingin dicawapreskan dengan Jokowi di 2014 tapi itu tidak terjadi.
Dan sekarangpun, menurut Gun Gun, salah satu yang tidak sepakat dengan pencawapresan Mahfud adalah PKB dan Muhaimin Iskandar. "Cerita ini kan tidak bisa diakses oleh mata dan telinga publik," ujar Gun Gun.
Selain itu, ia menyebut, sulit dipungkiri Mahfud juga memiliki peluang kembali maju di 2024 dan itu menjadi catatan bagi parpol pendukung. Walaupun Mahfud mengakui ia tidak ada masalah dengan pilihan Jokowi mengambil Kiai Maruf sebagai cawapres, namun Gun Gun menilai etika politik yang pragmatis telah merusak nilai penting demokrasi.
Pasangan calon Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin setelah mendaftar pencalonan capres dan cawapres di KPU, Jakarta Pusat, Jumat (10/8).
Hal itu juga yang terjadi di kubu Prabowo. Nama Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo, menurut dia telah mengecewakan Demokrat dan GNPF. Walaupun akhirnya PKS dan PAN bisa menerima. "Tentu faktor logistik di gelangggang ini menjadi penentu," ujar Gun Gun.
Kedua kubu, menurut dia, memberi catatan buruk demokrasi, mengabaikan persoalan etik politik dalam menentukan cawapres yang sudah berjalan lama."Saya melihat elegi kekuasaan luar biasa ini tercipta karena di dua kubu pilihannya pragmatisme politik," jelas dia.