Kamis 09 Aug 2018 18:18 WIB

KPK Dalami Regulasi Otsus ke Dirjen Otda Kemendagri

Sumarsono menyerahkan sepenuhnya kepada penyidik yang memiliki wewenang.

Rep: Dian Fath Risalah/Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono (tengah) bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/8).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono (tengah) bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik regulasi penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) terhadap Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Soni Sumarsono. Hal tersebut diungkapkan Sumarsono usai diperiksa menjadi saksi untuk tersangka Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf, Kamis (9/8).

"KPK itu ingin mengetahui bagaimana regulasi peraturan mengenai otsus, mengapa otsus, bagaimana otsus kemudian dananya disalurkan, mekanisme seperti apa ya sekitar itulah kira-kira,\" kata Sumarsono di Gedung KPK Jakarta, Kamis (9/8).

Selain itu, penyidik juga mengonfirmasi sejumlah hal terkait perbedaan otonomi daerah dengan otonomi khusus. Kepada penyidik, Sumarsono mengakui dana untuk daerah yang bersifat khusus atau istimewa diatur oleh peraturan gubernur.

"Jadi makanya gubernur memiliki juga power, sementara regulasinya itu saja, banyak hal yang sifatnya regulasi," katanya.

Ihwal proses hukum yang menjerat Irwandi, Sumarsono menyerahkan sepenuhnya kepada penyidik KPK sebagai penegak hukum yang berwenang. "Beliau (penyidik) kan ingin tahu regulasinya seperti apa, iya terserah analisis mereka seperti apa," kata Soni.

Baca juga: Bupati Bener Meriah Bantah Berikan Suap ke Gubernur Aceh

Sementara itu, Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan pada Kamis (9/8), penyidik memeriksa tiga saksi untuk Irwandi, yakni Indra Baskoro, Sekretaris Dirjen Bina Keuangan Dserag Kemendagri; Soni Sumarsono dan M. Arduan Novianto, Direktur Fasilitas Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerag Kemendagri.

"Pada para saksi didalami terkait aturan ttg alokasi dan proses penganggaran DOK Aceh," terang Febri.

KPK sebelumnya menemukan indikasi bancakan yang dilakukan oleh Irwandi dan oknum pejabat di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terhadap DOK Aceh tahun anggaran 2018. Lembaga antirasuah itu juga telah menahan Gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf dan ajudannya Hendri Yuzal, Bupati Bener Meriah non aktif Ahmadi serta seorang pengusaha T Saiful Bahri.

Baca juga: Marak OTT Kepala Daerah, Ini Pesan Jokowi

Dari temuan awal, KPK menduga setiap anggaran untuk proyek yang dibiaya dari DOK Aceh dipotong 10 persen, 8 persen untuk pejabat di tingkat provinsi, dan 2 persen di tingkat kabupaten/kota. Pada tahun ini, Aceh mendapat alokasi dana otsus sebesar Rp 8,03 triliun. Pemberian dana otsus ini tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018.

KPK menjerat Irwandi, Hendri dan Syaiful sebagai penerima suap dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sedangkan, Ahmadi sebagai pemberi dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak pidana korupsi. 

Rawan diselewengkan

Sebelumnya, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menuturkan kasus korupsi yang menjerat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi menunjukkan bahwa dana otonomi khusus (otsus) kerap diselewengkan. Bahkan, dia mengaku ICW sering menerima laporan soal penyelewengan dana otsus.

 

"Kami sudah cukup sering menerima informasi masyarakat terkait dana Otsus yang diselewengkan. Jadi enggak hanya di Aceh, di Papua juga. Jadi (kasus di Aceh) ini menunjukkan bahwa dugaan (adanya penyelewengan di dana otsus) itu memang ada," kata dia di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Kamis (5/7).

Menurut Donal, pola penyelewengan dana Otsus ini tidak berbeda dengan pola penyelewengan dana APBD. Dalam pola ini, misalnya berupa permintaan uang commitment fee pada tiap proyek, suap-menyuap terkait perizinan, maupun mark up di pengadaan barang dan jasa.

Baca juga: KPK to provide corruptor list for KPU

 

Donal melanjutkan, tujuan dalam pola-pola tersebut pun sama, yakni untuk menguntungkan dan memperkaya diri sendiri melalui penyalahgunaan jabatan. Hal ini disebabkan oleh perilaku buruk elite politik yang meminta bayaran untuk pencalonan di pemilihan umum.

"Ini membuat biaya demokrasi kita menjadi mahal dan juga beberapa kepala daerah hidupnya bermewah-mewahan dan berlebihan. Tasnya, mobilnya luar biasa. Ini bagian dari perilaku buruk mereka," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement