Kamis 09 Aug 2018 16:06 WIB

Bawaslu Jelaskan Mekanisme Penanganan Dugaan Mahar Politik

Bawaslu akan melakukan klarifikasi terhadap pelapor dan terduga pemberi mahar.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar.
Foto: Republika
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, menjelaskan mekanisme penanganan dugaan mahar politik dalam pencalonan capres-cawapres. Bawaslu akan melakukan klarifikasi terhadap pelapor dugaan mahar politik dan terduga pemberi mahar politik.

"Kami nanti bisa dilihat dari klarifikasi apakah benar ada dan telah terjadi sebuah dugaan (pemberian mahar politik)," ujar Fritz kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/8). 

Selain itu, Bawaslu bersama sentra penegakan hukum terpadu bisa melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam penelusuran ini. Bawaslu juga bisa menelusuri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

"Apakah memang benar telah terjadi transfer dana dari seseorang kepada parpol terkait pencalonan presiden atau wakil presiden. Memang harus ada bebeberapa langkah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan hal ini. Tetapi langkah pertama harus dari Bawaslu," kata Fritz. 

Sebelumnya, Fritz meminta Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief, mau melaporkan tentang tuduhan mahar politik sebesar Rp 500 miliar dari Sandiaga Uno. "Apabila ada para pihak yang mengetahui kami sangat mengharpkan kehadirannya untuk datang di Bawaslu. Sehingga saat Bawaslu melakukan sebuah klarifikasi kami mendapatkan sebuah informasi secara konprehensif," kata Fritz.

Di sisi lain, Bawaslu segera melakukan penelusuran atas dugaan mahar politik itu. “Jadi, berdasarkan apa yang ada saat ini, Bawaslu akan melakukan penelusuran terhadap kebernaran berita tersebut (dugaan mahar politik Sandiaga Uno), apakah memang benar adanya dugaan seperti itu," kata dia. 

Fritz melanjutkan, pasal 228 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menegaskan larangan bakal calon presiden dan calon wakil presiden memberikan uang atau imbalan kepada parpol agar memberikan dukungan. Kemudian, jika nantinya ada putusan hukum berkekuatan tetap menyatakan seseorang menyerahkan imbalan kepada parpol untuk menjadi capres atau cawapres, maka pencalonannya dapat dibatalkan. 

Selain itu, parpol yang menerima dana tersebut tidak dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden pada pemilu berikutnya. 

Baca Juga: Soal 'Jenderal Kardus', Demokrat: Itu Ketidakpuasan Andi Arief

Pada Rabu (8/8) malam, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief membuat kehebohan di jagad maya. Di akun Twitternya, ia menyebut Prabowo Subianto sebagai ‘jenderal kardus’. 

Sebutan tersebut diduga karena Prabowo akan menjadikan Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden untuk mendampinginya pada pilpres 2019. Bahkan, Andi menyebut Sandiaga Uno telah memberikan uang sebesar Rp 500 miliar untuk dua partai koalisi Gerindra, yakni PAN dan PKS.

Pada Kamis siang, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan partainya Andi Arief kepada Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat pertemuan Prabowo di kediaman SBY, Kamis pagi. Menurut dia, Partai Demokrat masih melakukan konsolidasi internal, termasuk membahas pernyataan Andi Arief. 

Sementara itu, PKS membantah pernyataan Andi Arief dan memutuskan untuk memejahijaukan Andi Arief. Ketua DPP PKS Ledia Hanifa menegaskan, tudingan Andi Arief sangat serius. Karena, menurutnya, menerima mahar politik dalam proses pencalonan presiden adalah tindakan pidana pemilu yang fatal.

Ia menyebut Andi Arief sebagai petinggi partai politik yang sempat berkuasa di Indonesia tidak selayaknya sembarangan melempar fitnah kepada institusi secara terbuka. "Saya melihat tidak ada klarifikasi resmi dari partainya sehingga kami menyimpulkan ini juga merupakan sikap institusi partai tempat Andi Arief bernaung," kata dia. 

Baca Juga: Situs PKS Diretas, Muncul Kalimat 'Halo, Jenderal Kardus!'

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement