Kamis 09 Aug 2018 09:16 WIB

Kisah Jo yang Bertahan di Perbukitan Menanti Bantuan

Untuk mendapatkan bantuan harus mengambil di posko utama Tanjung yang jaraknya jauh.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto
Kapolri Tito Karnavian, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Gubernur NTB Zainul Majdi meninjau posko utama di Tanjung, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8).
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsi
Kapolri Tito Karnavian, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Gubernur NTB Zainul Majdi meninjau posko utama di Tanjung, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Langit Lombok Utara tak lagi cerah. Bencana gempa berkekuatan magnitudo tujuh skala richter (SR) pada Ahad (5/8) malam, merusak segalanya. Kegembiraan yang biasanya terpancar dari raut wajah masyarakat di utara Lombok ini berganti menjadi penuh duka dan nestapa.

Sudah lebih dari 200 korban meninggal dunia, belum lagi ratusan pasien yang tengah menjalani pelayanan medis. Tim penanganan darurat bencana telah membentuk posko utama di sekitar Kantor Bupati Lombok Utara di Kecamatan Tanjung. Segala bentuk koordinasi hingga distribusi logistik dipusatkan di sana. Sejumlah pengungsi juga berada di lokasi ini dalam jumlah yang cukup besar.

Kondisi geografi Lombok Utara yang memiliki kontur perbukitan dan laut membuat dugaan masih banyak warga yang berada di daerah terpencil. Terlebih, adanya informasi tsunami pada saat kejadian membuat banyak warga berlarian menuju perbukitan.

Republika.co.id, pun mencoba menyusuri kondisi Lombok Utara secara lebih menyeluruh pada Rabu (8/8). Perjalanan dimulai dari Tanjung menuju tiga kecamatan dengan dampak terparah, yakni Kecamatan Gangga, Kayangan, dan Bayan.

Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) mengatakan tiga kecamatan tersebut paling parah terdampak, dengan alasan karena lokasinya yang jauh dari pusat kota di Tanjung, dan juga berada paling dekat dengan sumber gempa saat kejadian.

Sepanjang perjalanan yang melintasi areal persawahan nan hijau diselingi keindahan laut di seberangnya, pemandangan rumah rusak tak berpenghuni menjadi hal yang jamak ditemui. Ada pun satu-dua rumah yang tampak baik secara kejauhan, belum tentu baik atau layak pula untuk kembali dihuni. Tak hanya rumah warga, sejumlah kantor milik pemerintah, mulai dari kantor BPBD, Dukcapil, BPS, BPN/ATR, dan Polres mengalami kerusakan. Rumah pribadi maupun rumah dinas Bupati Lombok Utara Najmul Ahyar juga tak luput dari kerusakan.

Keretakan jalan dengan skala ringan hingga menengah juga dijumpai di sekitar jalan yang menuju Pantai Tebing, Desa Rempek. Di pinggir-pinggir jalan, warga mendirikan tenda darurat dengan alat sekadarnya di pekarangan rumahnya yang sejatinya sudah tak lagi ada.

Republika.co.id, mulai memasuki sejumlah wilayah yang berada di ketinggian atau areal perbukitan. Meski memiliki medan berkelok hingga tak jarang sesekali harus menanjak maupun menurun, kondisi jalan secara umum baik, meski harus tetap berhati-hati karena semakin naik ke atas, ruas jalan terasa lebih menyempit.

***

Republika bertemu Warga Dusun Gitak Demung, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Johari (36), yang sedang mengungsi bersama keluarganya dengan tenda seadanya. Jo, begitu akrab disapa, adalah wartawan media lokal, Suara NTB untuk biro Lombok Utara.

Rumah Jo cukup jauh dari jangkauan, sekira delapan kilometer (Km) dari Kecamatan Gangga. Jarak dari Kantor Bupati Lombok Utara yang menjadi posko penanganan darurat bencana gempa yang berada di Kecamatan Tanjung ke Kecamatan Gangga sekira 23 km atau 45 menit perjalanan darat. Terbayang seperti apa jauhnya.

Jo merasa bersalah karena tak mampu menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Namun, ia tak memiliki daya lantaran rumahnya telah rata dengan tanah, dan tinggal dengan tenda seadanya. Tenda darurat yang ia tempati bersama 70 orang --sebagian besar keluarganya-- berada di samping rumah pamannya yang juga telah roboh. Rumah Jo berada agak sedikit di bawah.

"Sejak kejadian sudah mengungsi di sini, belum sempat lihat rumah karena tidak kuat rasanya melihat rumah sendiri sudah tak ada," ujar Jo.

Selain keluarga, ada juga warga dari kampung lain yang berada di bawah ikut mengungsi di sini. Penyebabnya, isu tsunami yang membuat warga berlomba-lomba menuju ke atas.

Jo menyadari lokasi kampungnya yang jauh dari jangkauan. Tak ada aliran listrik yang padam sejak gempa membuat ia meminjam genset milik tetangga. Untuk sinyal telepon seluler, dia harus berjuang naik ke atas bukit agar mendapatkan sinyal. "Kadang muncul tenggelam, harap maklum agak susah kalau dihubungi," kata Jo.

Jo sendiri sedang menyaksikan MotoGP saat gempa terjadi. Besarnya guncangan gempa membuat ia berlari keluar rumah, meski sempat terjatuh. Begitu berada di luar, ia saksikan rumahnya roboh seketika dan listrik padam. Sepeda motor yang biasa ia gunakan untuk peliputan pun tak luput dari amukan gempa dan rusak tertimpa reruntuhan.

Jo mengatakan, hampir seluruh warga di kampungnya terdampak, termasuk Kepala Desa Genggelang yang mengalami luka dan tidak bisa bergerak karena menaruh badannya sebagai tameng bagi tumpukan beton yang jatuh demi menyelamatkan anaknya. Tak butuh waktu lama, lanjut Jo, tersiar kabar bahwa 12 warga di Desa Genggelang meninggal dunia.

"Sedih lihatnya, kaya kuburan sudah. Proses pemakamannya ya seadanya. Hari pertama air itu kuning, kita minum sudah," ucapnya.

Berbeda dengan warga di Kecamatan Bayan yang memang tinggal di luar rumah akibat dampak gempa pada Ahad (29/7), warga di Gangga kebanyakan berada di dalam rumah. Sejumlah barang yang ada di tendanya, seperti kasur, karpet, terpal, dan lainnnya adalah sisa-sisa barang yang diambil saat keesokan harinya.

"Yang bisa kita tarik, ya kita tarik, beras sisa-sisa dari reruntuhan, kadang ada talas digali untuk makan," lanjutnya.

Ia menyebutkan, sedikitnya 400 kepala keluarga (KK) yang berada di Dusun Dusun Gitak Demung terpaksa mengungsi. Tak ada yang berani kembali ke rumah, dan memang sudah tak ada rumah untuk kembali. Ada pun rumah yang masih berdiri, kata dia, juga tak berani ditempati pemiliknya karena di beberapa sisi bangunan sudah tak layak ditempati.

"Masjid juga rusak, memang kubahnya masih kokoh, tapi bagian bawahnya rusak parah. Kita ancang-ancang mau Jumatan di lapangan nanti," katanya.

Sejauh ini, ia dan warga lainnya belum menerima bantuan apa pun dari pemerintah. Dia mencoba husnudzan bahwa seluruh warga Lombok Utara juga merasakan hal yang sama, entah warga biasa maupun pejabat daerah. "Mungkin juga kan BPBD keluarganya atau rumahnya juga terdampak," kata Jo.

Kata dia, untuk mendapatkan bantuan harus mengambil di posko utama di Tanjung. Persoalannya bantuan harus diambil Kepala Desa, sedangkan kepala desanya tidak bisa mengambil karena sedang sakit karena tertimpa reruntuhan. Persoalan lain, akses ke Tanjung membutuhkan suplai bahan bakar minyak (BBM), di mana harga BBM eceran mulai naik sebesar Rp 15 ribu per liter pada Selasa (7/8) dan Rp 18 ribu per liter pada Rabu (8/8) untuk jenis Pertamax. Sedangkan untuk premium dihargai Rp 12 ribu. "Mungkin masukan bagi aparat bahwa ada oknum memanfaatkan harga BBM," ucap dia.

Jo mengaku, sempat ada bantuan berupa mi instan dan air mineral oleh donatur yang berkeliling di kampungnya. Kekhawatiran lain yang dirasakan warganya adanya isu pencurian. Ia berharap ada aparat yang berpatroli di wilayahnya guna mencegah hal-hal yang semakin membuat warga resah.

Di akhir pertemuan, Jo berharap, apabila ada bantuan dari pemerintah untuk rehabilitasi rumah, ia mengaku trauma dengan model rumah dengan konstruksi bangunan tapi tidak kokoh dan justru riskan. Pasalnya, wilayah Lombok Utara sendiri berada di kawasan bencana dan pernah terjadi gempa pada 1975 atau 1979. Bangunan rehabilitasi sebaiknya mengikuti kaidah tentang kawasan rawan bencana, atau kalau perlu rumah panggung dengan kayu. "Yang kaya gitu malah aman, itu buktinya kandang kambing (dari kayu) utuh," kata Jo menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement