REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK UTARA -- Warga Dusun Gitak Demung, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Said mengaku tidak pernah menyangka gempa dengan kekuatan besar melanda wilayahnya.
Pria berusia 60 tahun itu mengaku pernah mengalami gempa serupa pada kurun waktu antara 1975 sampai 1979, ia lupa tepatnya. Tentu dengan kekuatan magnitudo gempa yang lebih rendah dibandingkan yang ia kembali rasakan pada Ahad malam (5/8).
Pria yang mengajar di Madrasah Riyadhul Jannah Nahdlatul Wathan (NW) mengaku hanya pasrah melihat kondisi yang terjadi. Rumahnya roboh, pun dengan kondisi madrasah yang mengalami kerusakan.
"Anak-anak ke mana ini, habis ini sekolah ke mana," ujarnya di Dusun Gitak Demung, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8).
Ia mengatakan, wilayahnya memang cukup jauh dari akses Kecamatan Tanjung yang menjadi posko utama penanganan darurat bencana. Dari Kecamatan Gangga saja, ia katakan, kampungnya berada di areal perbukitan dengan jarak sekitar delapan kilometer.
Dia mengatakan terdapat 12 korban meninggal di Desa Genggelang dengan perincian empat korban di Dusun Gangga, empat korban meninggal di Dusun Kerurak, tiga orang meninggal di Dusun Tenjor, dan satu orang meninggal di Monggal Bawah. "Gempa pertama itu goyang-goyang, dan yang kedua baru seperti diangkat," katanya.
Ia kini tinggal bersama keluarganya di tenda darurat dengan perlengkapan seadanya yang berada di dekat kawasan hutan Rinjani. Dia berharap, warga sekitar nantinya diberikan akses untuk memanfaatkan hutan dengan mengambil kayu-kayu sebagai bahan bangunan rumah ke depan. Hal ini tak lepas dari rumah dengan bangunan semen yang rentan terhadap bahaya gempa.
Meski berduka, Said mengaku tak ikut larut dalam kesedihan. Kata dia, ini sudah ketentuan yang maha kuasa. Sedikit bercanda, ia mengaku sedikit tenang karena bukan dia saja yang diberikan ujian seperti ini, melainkan orang banyak, tanpa memandang apa pun statusnya.
"Makanya kalau kita keliling, tenang kita, karena sama, merata. Akhirnya kita tertawa. Kita ejek orang-orang paling kaya di sini, bapak dan kami sama, sama-sama enggak punya rumah, jadi enggak ada bedanya," kata dia berseloroh.
Baca juga: Kisah Lalu Fauzan Mencari Ibunya di Reruntuhan Masjid Lombok