Rabu 08 Aug 2018 05:03 WIB

Libas dan Kelahi: Kenangan Taufik Ismail Pada Pemilu 1955

Adanya diksi kelahi dan libas menjelang Pilpres 2019 memprihatinkan.

Pemilu 1955
Foto: Arsip RI
Pemilu 1955

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Penyair terkemuka, Taufiq Ismail, mengaku prihatin atas munculnya situasi menjelang pelaksanaan Pilpres 2019. Dalam waktu beberapa hari ke depan memang sudah ada pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Sayang di publik kini muncul debat soal kontroversi pernyataan untuk bersiap untuk berkelahi hingga adanya diksi libas yang tersebar di media massa konvensional maupun media sosial.

''Saya sangat prihatin. Ini membuat saya sedih. Kenangan akn pemilu 1955 yang bermutu terasa menjauh," kata Taufiq Ismail, di Jakarta, Selasa (7/8).

Dalam banyak kesempatan Taufiq kerapkali mengemukakan soal suasana Pemilu 1955 yang dialaminya. Saat itu perbedaan partai dan ideologi begitu nyata dan marak. Tapi tak terjadi kekerasan dan tak ada darah yang tertumpah. Bahkan ketika dua masa yang berbeda pilihan bertemu tak ada bentrokan. Isinya cuma berselisih kata (verbal) belaka.

''Perbedaan aliran politik begitu nyata. Tapi saat itu jalannya kampanye pemilu lancar. Bahkan dipuji sebagai pemilu terbaik di Indonesia,'' katanya lagi.

Taufiq mengenangkan suasana Pemilu 1955 dalam sebuah sajaknya. Dan puisi ini pernah dia bacakan di depan para peserta pemilu dan anggota Komisi Pemilihan Umum pada sebelum menggelar ajang kampanye tanun 2014 silam. Beginilah puisinya yang berjudul: Ketika Indonesia dihormati dunia.

Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat

Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat

Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima

Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka

Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa

Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita

Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil

Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan

Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi

Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan

Pesta yang bermakna kegembiraan bersama

Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda

Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan

Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan

Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang

Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar

Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar

Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan

Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan

Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia

Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman

Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan

Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan

Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berturutan

Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran

Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkan

Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan

Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan

Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan

Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di jalan, mereka sopan-sopan

Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapangan

Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturan

Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di tangan bendera berkibaran

Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat semboyan dan slogan

Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk, melakukan kekerasan

Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan

Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan

Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan

Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan

Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement