Kamis 02 Aug 2018 23:36 WIB

Angka Kebutaan Sulit Turun Jika BPJS Batasi Operasi Katarak

Pasien akan lebih rentan mengalami cedera.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Muhammad Hafil
Dua pasien selesai melakukan operasi katarak di Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Iman Santoso Polda Sulbar, Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (17/4).
Foto: Antara/Akbar Tado
Dua pasien selesai melakukan operasi katarak di Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Iman Santoso Polda Sulbar, Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (17/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) angkat bicara mengenai Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampel) Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan. Perdami menilai pembatasan kuota jumlah operasi katarak akan membuat angka kebutaan di Indoensia sulit diturunkan.

Berdsarkan WHO, angka kebutaan di suatu negara bisa turun jika memiliki catarac surgical rate (CSR) sebesar 3.500 per satu juta penduduk per tahun. Beberapa negara sudah meraih angka CSR melebih anjuran WHO ini.

Ketua Umum Perdami dr Johan Arif Hutauruk SpM(K) mengatakan India memiliki angka CSR sebesar 4.000 per satu juta penduduk per tahun. Amerika Serikat memiliki angka CSR sebesar 10.000 per satu juta penduduk per tahun. Sedangkan Australia memiliki angka CSR sebesar 9.000 per satu juta penduduk per tahun.

Sedangkan di Indonesia, lanjut Johan, pada 2016 lalu total operasi katarak yang dilakukan adalah sekitar 520.000. Jika dikonversikan, Indonesia hanya memiliki angka CSR sebesar 2.000 per satu juta penduduk per tahun.

"Dengan Perdirjampel ini (jumlah operasi) dibatasi lagi, itu angka kebutaan bukannya makin menurun," terang Johan saat ditemui di kantor PB IDI, Kamis (2/8).

Hal ini dinilai Johan bertentangan dengan komitmen untuk menurunkan angka kebutaan di Indonesia yang termuat dalam program VISION 2020. Padahal saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka kebutaan tertinggi di dunia.

Johan mengatakan operasi katarak hanya berlangsung selama 15-30 menit. Meski singkat, pasien bisa mendapatkan manfaat yang sangat besar karena keesokan harinya pasien akan mengalami pulih penglihatan dan bisa kembali bekerja.

"(Sebagian pasien yang mendapat operasi) orang-orang (dengan kemampuan ekonomi) di bawah, ada tukang parkir dan lain-lain," lanjut Johan.

Dengan pembatasan kuota operasi katarak, Johan mengatakan akan ada pasien yang harus mengalami kebutaan lebih lama. Penglihatan yang terganggu atau hilang akibat katarak akan membuat pasien sulit beraktivitas dengan optimal. Pasien pun akan menjadi lebih rentan untuk mengalami cedera.

Jika pasien cedera, misalnya patah tulang, maka akan timbul masalah kesehatan baru yang membutuhkan penanganan medis lain dan biaya yang lebih besar. Padahal jika bisa dioperasi lebih cepat, pasien tersebut tidak harus mengalami cedera dan bahkan bisa segera kembali bekerja secara produktif.

"Jadi walaupun (peraturan baru) BPJS berhemat, tapi secara nasional, seluruh Indonesia, kerugiannya jauh lebih besar," jelas Johan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement